komunikasi.


Bas Point of View.

Malam temaram begini aku mendadak nggak bisa tidur. Sejak tinggal di rumah mama aku merasa tidur sendirian di kamar seluas itu kurang nyaman dibanding waktu remaja. Mungkin karena kebiasaan itu sudah berubah setelah menikah dengan Kak Job, gak ada satu hari pun kita tidur berpisah. Aku kangen rumah.

Di bawah lampu ruang tamu yang masih menyala aku duduk seorang diri dalam sepi. Atas pangkuan tersedia album potret kenangan yang entah bagaimana juga ikut bersamaku. Kegiatanku mengenang masa lalu harus berhenti kala satu notifikasi sosial media mencuri perhatian.

looking4job mentioning you in a tweet

Lantas aku gak bisa nahan ketawa tiap baca tulisannya. Inget banget dulu kita beneran desperate gimana bangun rumah tangga stabil. Kita sampe harus hemat buat makan sama kebutuhan sebab uang gaji yang gak seberapa dibuat lunasin hutang yang sebenernya bukan punya kita. Tapi pas semuanya kelar, hal-hal baik terus datang sampai sekarang.

Aku tak sadar bahwa tawaku di tengah malam bisa bangunkan seseorang. Mama yang lagi bawa gelas air minum bukannya kembali ke kamar malah nyamperin ikut duduk di ruang tamu.

“Mama? Maaf suaraku bikin bangun, ya?”

Mama senyum maklum, malah heran dan kepo apa sih yang bisa bikin ketawa anaknya. “Seneng banget kamu? Lagi nonton apa?”

“Enggak kok, ma. Cuma ini loh Kak Job ngirim cerita lucu.”

“Oh.”

Terus gak ada sahutan lagi dari mama. Beliau cuma diem dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Dia pandangi lamat bentuk tubuhku sampai jatuh pada buku di atas pangku.

“May I?” Izinnya.

Aku sebenarnya ragu untuk mengizinkan. Takut diperdengarkan komentar buruk tentang sosok di dalamnya. Namun, selama lima belas menit mama belum buka suara. Beliau hanya mendunduk, mengamati setiap potret perjalanan hidup keluargaku. Hingga sampai pada halaman penghujung, beliau raba sosok di sana.

“How old is he? Tanyanya sembari menunjuk paras remaja.

“Dua puluh, udah kuliah semester lima sekarang ngambil komunikasi.”

Lagi, beliau diam kembali. Jemarinya masih menari di atas lembar foto yang sama.

“Kenapa dia?” Ucapnya kembali, entah siapa yang dimaksuddia sekarang.

“Namanya Mark soalnya dia punya tanda lahir lucu menyerupai bentuk hati di lengannya. Terus, waktu pertama kali kita datang ke panti cuma dia yang berhasil curi atensiku. Aku tandai dia dalam ingatanku.”

“No, I mean him.”

Oh, maksudnya Kak Job?

Sebentar aku gak langsung menjawab. Pertanyaan kayak gini tuh bikin kita mau gak mau berangkat menuju nostalgia.

“Jatuh cinta itu gak butuh alasan, ma. Kadang dia memang jadi tipe kita atau timbul nyaman tanpa sengaja. Dan aku adalah yang kedua. We communicated that well back then. Kita nyambung dalam banyak hal dan komunikasi itu jadi perantara utama agar sinyal rasa suka bisa saling diterima.”

“Pada saat itu seolah semua serba kebetulan Bas masih sendiri dan Kak Job yang memang punya inisiasi. At first we tried, later we talked so much, and became comfortable to each other. He was simple, easy to pleased, understandable, yet reliable. Pokoknya ya dia cuma cowok biasa yang bisa bikin aku nyaman terus, ketawa terus sama dia.”

“Ma, soal dulu aku sama Kak Job memang salah sama mama. Kak Job tanpa sengaja sakitin hati mama semata dia takut kehilangan aku. We were both too young, aku cuma anak muda yang lagi tergila-gila kenal cinta. Tapi lihat sekarang, aku sama Kak Job udah bertumbuh dewasa, udah punya anak yang harus kita jaga berdua. Ma, harap kita cuma kita jadi keluarga besar yang harmonis. Keluarga aku dan Kak Job bisa jadi satu.”

Selepas panjang lebar aku bertutur kata, Mama gak sama sekali punya komentar apa-apa. Aku gak bisa baca pikirannya. Mama habiskan air dalam gelasnya, dan dia berkata, “Tolong gelas mama di bawa ke dapur ya.” Beliau beranjak, dan aku bisa lihat punggungnya hilang di balik pintu kamar.


`hjkscripts.