kim junkyu.


⚠️trigger warning⚠️ : angst, harsh words.


Pagi ini begitu cerah, cocok sekali dengan suasana hati pemuda tinggi nan lucu yang sedang duduk pada salah satu bangku kafe memangku dagunya. Bibirnya menampilkan senyuman malu malu hingga pipi berisinya sedikit terangkat. Pikiran pemuda itu berlari kesana kemari, sudah membayangkan apa yang akan dilakukan hari ini dengan kekasihnya. Terhitung satu minggu tepat mereka tak bersua akibat pekerjaan sang kekasih yang memang baru diangkat menjadi supervisor di perusahaan.

Cling

Lonceng selamat datang berbunyi menandakan ada pelanggan yang datang. Bukti itu diperkuat dengan teriakan salah satu pegawai seraya mempersilahkan. Bola mata si pemuda itu mendelik lucu ke arah pintu masuk. Lalu, senyumannya mengembang semakin lebar saat berhasil menangkap visual sosok kekasih yang ditunggu.

“Haruto, sini!” Teriaknya penuh semangat dengan tangan diangkat tinggi-tinggi. Bahkan siapapun yang melihat menunjukkan ekspresi gemas.

Pemuda Haruto itu tersenyum tipis menanggapi. Kaki jenjangnya Ia bawa mendekat pada bangku kekasih lucunya, tak lupa mencubit sebentar sebelum mendudukkan dirinya pada bangku yang tersedia.

“Junkyu?” Panggilnya dengan suara bassnya, mencoba mengambil seluruh atensi sosok lucu dihadapannya yang masih fokus memainkan tangannya.

Si lucu bernama Junkyu ini nampak sangat merindukan Haruto. Berakhir tangan Haruto dimainkan, sesekali diciumi dan ditempelkan pada pipinya. “Tangan Haruto itu anget, wangi juga” begitu katanya.

Cling

Kegiatan Junkyu memainkan tangan Haruto harus terhenti saat satu lagi pemuda yang lebih kecil perawakannya ikut duduk di bangku mereka. Peluh memenuhi sekitar wajahnya, dadanya masih naik turun sepertinya memang habis berlari.

“Maaf maaf telat.” Ujarnya setelah nafasnya kembali normal.

Junkyu mengernyit bingung, menatap kekasihnya lalu pemuda baru diantara mereka bergantian. Seingatnya Haruto mengajak Junkyu keluar melalui pesan pribadi bukan grup persahabatan mereka yang mana artinya Haruto mengajak Junkyu ngedate, BERDUA.

Iya, pemuda yang baru saja datang ini Asahi. Mereka bertiga sudah jadi sahabat sejak bertemu saat masa orientasi SMA. Jujur, Junkyu bukannya benci akan kedatangan Asahi. Jika harus berterus terang presentase mereka ngedate hanya berdua dan pergi bertiga itu lebih banyak mereka main bertiga. Tapi jika memang begitu harusnya Haruto membicarakan acaranya lewat grup khusus yang hanya ada mereka bertiga disana.

“Loh, ada Asa juga?” Tanya Junkyu hanya dijawabi dengan senyuman kecil. Ada perasaan bersalah dalam diri Asahi.

“Gapapa kok, terus hari ini kita main kemana? Kangen banget main sama kalian!” Junkyu melanjutkan dengan nada penuh semangat. Manik matanya seperti memancarkan binar bahagia menatap dua manusia dihadapannya yang malah diam mengatupkan belah bibirnya.

Junkyu mengerucutkan bibirnya, hal biasa jika mood merajuknya muncul. Kedua alisnya menekuk dibuat marah. Junkyu ngambek, biasanya mereka bertiga bakal rame ngasih rekomendasi tempat main. Namun, kali ini Haruto pun Asahi hanya menatap Junkyu dengan sendu.

Di bawah sana kaki Asahi dan Haruto saling memberi isyarat. Berkelahi dalam diam siapa yang harus mengutarakan maksud kedatangannya berkumpul.

“Kyu kita gabakal kemana-mana buat hari ini. Ada yang mau aku sama Asahi sampein ke kamu. Penting.” Ucap Haruto Akhirnya. Disini air wajah Asahi beranjak memerah, tak sanggup lagi meneliti setiap perubahan raut Junkyu.

Senyum manis Junkyu berangsur pudar. Perasaannya mendadak cemas. Dirinya semakin dibuat penasaran saat kekasihnya mengeluarkan sebuah kertas cantik dari dalam tasnya. Haruto menyerahkan kertas berwarna putih, masih bersampul plastik cantik ke hadapan Junkyu.

“Ini apa?” Tanya Junkyu menatap manik Haruto yang memandangnya sedih. Perasaan Junkyu semakin tak terkendali saat indra pendengarannya menangkap suara isakan pelan milik Asahi. Padahal Asahi sudah menahannya dengan mengeratkan genggaman pada ujung bajunya. Namun, sesak di dadanya jauh lebih kuat hingga sulit bernafas.

“Asahi kok nangis? Kalian kenapa? Ada apasih?” Cerca Junkyu penuh tanya. Sumpah, Junkyu nggak ngira bakal gini akhirnya. Seminggu tak berjumpa memang membuatnya jadi manusia purba yang nggak tau apa-apa.

Mengabaikan Asahi yang terus menunduk dengan terisak. Netra si pria manis itu memfokuskan atensinya pada kertas cantik dari kekasihnya, membaca tiap kata yang telah disusun apik dengan tinta emas.

deg

Junkyu diam tertegun, otaknya masih mencerna setiap kata yang berhasil masuk.

“Ini undangan pernikahan..”

Asahi beranjak mengambil paksa tangan Junkyu dengan wajah sembabnya. “Junkyu, Junkyu please gue minta maaf. Sumpah gue ga mak-”

Ucapan Asahi terhenti saat kedua tangannya dihempaskan begitu saja oleh Junkyu. Asahi hanya sanggup terus menumpahkan air mata bersalahnya sedangkan Haruto masih diam tak tau harus berbuat apa.

“Bentar! Ini gue gasalah ya baca namanya?”

“Haruto... Asahi...?”

“Terus gue gimana?” Tanya Junkyu penuh syarat kekecewaan. Suaranya diangkat, matanya berhasil memerah dengan genangan menenuhi pelupuknya.

“TERUS GUE GIMANA HARUTO? LIMA TAHUN LO KIRA LUCU YA DIMAININ KAYAK GINI?!”

Junkyu menatap nyalang pada sosok dihadapannya yang hanya diam tanpa berusaha menenangkannya. Seperti memang tak ada jalan lain dari masalah ini. Junkyu kecewa dengan keduanya, bagaimana sosok sahabat yang dieluh eluhan menikungnya begini hebat. Sahabat yang berperan menajadi sosok cupid telah berubah tujuan, mengambil paksa kekasihnya, menukar kartu persahabatan demi egonya sendiri.

“Junkyu dengerin aku dulu...” Haruto mengambil jemari Junkyu untuk diusap lembut. Sedangkan empunya mulai mempersilahkan cairan bening jatuh melewati pipi gembilnya, enggan menatap kedua manusia yang telah berubah status menjadi penghianat dihidupnya.

“Ini semua ulah papa sama papa Asahi. Sumpah kita berdua gatau, dan semuanya kejadian gitu aja.”

Junkyu menutup bibirnya yang semakin keras terisak. Sakit, seperti ulu hatinya ditusuk dengan sebilah pisau. Bahunya semakin bergetar saat tubuhnya merasakan bagaimana genggaman sosok dicintainya begitu erat. Otaknya ingin percaya pada Haruto pun Asahi memang tak memiliki jalan keluar lain selain terpaksa menyakitinya. Namun hatinya terlanjur meradang hingga tak ada alasan logis apapun yang mampu menjelaskan keadaan saat ini.

“Perusahaan papanya Asahi lagi dibawah dan dia butuh keluargaku yang bantu. Papa papa kita sepakat agar kontraknya bisa bertahan lama ya dengan...” Lanjutnya.

Junkyu mengambil napas, perlahan mengambil tangannya kembali tak peduli Haruto yang berusaha menggapainya.

“Udah ya, gue capek.” Junkyu berdiri, menyampirkan tasnya. Tanpa mau melihat keduanya Junkyu melepas cincin tanda keseriusan seorang Haruto Watanabe, diletakkan begitu saja. Lalu keluar menandakan dirinya mengalah, memberikan sumber kebahagiaan, dunianya pada sosok yang juga sahabatnya.

“JUNKYU! JUNKYU!” Panggil Asahi meraung putus asa, tanpa peduli pada tiap pandangan mata yang sejak tadi memperhatikan layaknya menonton sinetron murahan di TV.

Haruto menahan tubuh Asahi dalam dekapannya. Tubuhnya juga lelah, hatinya banyak sakit namun tetap memberikan sisa energinya untuk menenangkan Asahi.

“Junkyu, To... Junkyu...”

“Sttt... biarin Junkyu sendiri dulu ya. Udah udah tenang.” Kata-katanya menenangkan, masih dengan kedua maniknya tak melepas pandang pada cincin malang yang dikembalikan oleh pemiliknya.

Kim Junkyu, maaf.


Entah apa yang harus Junkyu lakukan selain mengurung dirinya dalam kamar minimalis tempatnya selama ini tinggal. Sudah tiga hari Junkyu begini, air matanya telah mengering tinggal mata sendunya tersisa dihiasi kantung mata menghitam. Ketukan pintu dari hari ke hari dihiraukannya bahkan tak sesuap nasi-pun masuk dalam perut kosongnya.

Harusnya Junkyu tau diri, sejak awal kedua orang tua Haruto memang kurang menyetujui hubungan mereka. Inilah karma baginya tak mengindahkan tiap larangan yang sering dilontarkan papa atau mama Haruto. Raganya, hatinya hanya patuh pada satu komando yaitu suara rendah nan menghipnotis milik kekasihnya.

Harusnya Junkyu sadar diri, dirinya hanyalah anak yatim piatu sederhana yang tak pantas bahkan hanya jalan bersanding dengan kedua sahabatnya. Hidupnya serba kemalangan, tak seperti Haruto dan Asahi yang lahir sudah diselimuti emas.

Harusnya Junkyu ikhlas dan paham betul bahwa kisah cinta si miskin dan si kaya tak akan berakhir bahagia layaknya sinetron romansa. Junkyu malu, sikap acuhnya pada gunjingan teman sekolahnya dulu tak pernah didengar. Seolah tak peduli, toh Junkyu memang bertakdir dipertemukan dengan Haruto dan Asahi bukan karena harta. Tapi memang catatan Tuhan begitu adanya.

5 hari kemudian

Langit sudah menjadi sore saat Haruto sampai rumahnya. Bahunya turun, langkahnya lesu berjalan menuju taman rumahnya dimana Asahi pun menunggu dengan harap-harap cemas.

Belum sempat Haruto duduk sekedar mengistirahatkan kakinya sudah dicerca cowok mungil itu dengan berbagai pertanyaan yang sama sejak 5 hari belakangan.

“Gimana, udah ketemu Junkyu?” Pertanyaan Asahi sama, juga tetap dihadiahi gelengan lemas yang lebih tinggi.

Lagi-lagi helaan nafas kekecewaan Asahi tunjukkan, kelewat khawatir akan nasib sahabat yang seketika menghilang dari peradaban.

“Maaf ya Sa, aku udah datengin semua tempat yang biasanya dia datengin tapi nihil. Bahkan tiap hari dari pagi pulang sore buat nunggu di toko bunga juga gak muncul. Bibi pemilik nya juga gatau.” Jelas Haruto lirih. Rasanya ingin menyerah, tapi melihat Asahi segigih ini dan hipotesis Junkyu bisa jadi tak baik-baik saja membuat Haruto ikut overthinking dibuatnya.

“Udah ke apartnya?” Haruto mengangguk. Apart Junkyu layaknya rumah tak berpenghuni.

“Bibinya gimana?” Salah satu sanak keluarga milik Junkyu hanyalah keluarga bibinya. Bibi yang mengasuh Junkyu sejak kedua orang tuanya meninggal.

“Udah, Sa. Kata Bibi Kim, Junkyu belum pernah berkunjung satu bulan ini. Kemarin sempet gue minta tolong anterin makan siapa tau dia menghindar dari kita katanya juga masih gantung di pintu besoknya.”

Asahi benar lemas, kakinya mendadak tak sanggup berdiri hingga dirinya jatuh terduduk dilantai dengan mengusap wajahnya frustasi. Kalau begini bakal jadinya rencana pernikahan harus diundur kalau bisa ditiadakan. Apa gunanya berbahagia jika ada satu insan yang sangat menderita akibat pernikahannya.

“Gue gak mau nikah, To kalo keadaannya kek gini. Apa gunanya nikah kalo nyakitin temen sendiri. Gue gabisa kalo harus berdiri diambang iya dan nggaknya Junkyu. At least Junkyu disini, nampar muka gue, maki maki gue sampai dia puas, dan bilang kalo dia benci sama gue.”

Haruto juga sama, masih berharap adanya secercah cahaya dimana ada jalan untuk mereka bertiga. Bayang-bayang wajah lain yang akan mengucapkan janji suci bersamanya membuat hidupnya semakin berantakan. Haruto mau Junkyu, nggak ada yang lain. Cuma Junkyu.


1 bulan kemudian

Hari ini tepat sebulan setelah kejadian pengakuan Asahi dan Haruto pasal perjodohannya. Hari dimana hancurnya 6 tahun persahabatan mereka bertiga. Junkyu berhasil menghindar setidaknya sampai Haruto maupun Asahi lelah mencoba menggapainya. Junkyu bukanlah Junkyu yang dulu, Junkyu yang ceria dan penuh tawa hilang diterpa kegelapan. Kehidupannya berubah 180 derajat seperti dunianya direnggut habis-habisan oleh semesta.

Baiknya Junkyu masih sadar dirinya manusia. Manusia penuh nafsu akan lapar dan dahaga dimana apapun yang dibutuhkan di dunia perlu sepeser uang untuk membelinya. Setelah dirasa tak ada lagi dari oknum pemecah belah hatinya yang menerus datang, Junkyu kembali pada hidup normalnya. Bekerja, meskipun dipindah pada bagian merakit bunga tatkala banyak pengunjung mengajukan komplain akan pelayanan kasir kurang ramah. Junkyu masih bersyukur tak langsung didepak dari pekerjaan yang membuatnya bisa menopang tubuh sebatang karanya.

Ting!

suara satu pesan masuk membuat kegiatan mengepel pemuda jangkung terhenti sejenak.

1 message from Asahi😽

Junkyu tertegun, sungguh dirinya masih tak sanggup bahkan hanya membaca namanya saja membuat dadanya kian sesak. Ibu jarinya bergetar, hatinya bimbang akan membuka atau mengabaikan saja. Tapi Junkyu telah berjanji apapun yang terjadi life must go on sebanyak apapun rasa sakitnya.

Dengan perasaan yang ragu Junkyu membuka pesannya perlahan.

Junkyu, gimana kabar? Baik-baik aja ya kan? Lo ga sakit kan? Ya Tuhan gue kangen banget sama lo. Kyu, besok gue sama Haruto jadi nikah. Gue boleh ga sih berharap lo dateng dan hancurin nikahan gue? Karena sumpah gue sama Haruto juga gamau nikah kek gini. Kyu, dateng ya... gue pengen ketemu sama lo, gue pengen lo nampar gue, marah ke gue, pokoknya gue ikhlas lo lakuin apa aja asal lo nggak diemin gue kayak gini. It's tortured me... Gue bakal tunggu lo dateng dan lo harus tau kalo Haruto bakal tetep cinta dan sayang sama lo :)

Junkyu kembali lemah, kenyataan dirinya masih belum sepenuhnya menerima. Tubuhnya perlahan jatuh, kepalanya pusing terlalu banyak menangis. Junkyu tau nggak cuma dirinya yang tersakiti disini, Junkyu tau gimana kejamnya dunia bisnis. Tapi Junkyu sendirian, He was filled with love before and suddenly they're gone. Tubuhnya kopong, seluruh isinya telah diambil tak tersisa. Bayang-bayang percakapannya dulu dengan Asahi merasuki pikirannya, bagaimana Asahi bersumpah dirinya sendiri yang akan menggandeng lengan Junkyu menghantarkannya pada Haruto di hari bahagia mereka kelak. Sebelum, realita itu sendiri yang memutarbalikkan keadaan.

Scenario alam itu lucu, dimana manusia cuma sanggup halu. Begitupun yang dilakukan pada isi hati manusia. Sempat terpikir Junkyu akan menghancurkan pesta pernikahan mereka, menjadi orang paling gila karena ditinggal cinta. Selepasnya Junkyu sadar, mana tega orang serendah dirinya melakukan itu dihari bahagia sahabatnya. Cukup hidup Junkyu yang sekarang telah menderita, dirinya tak ingin jatuh tersiksa lebih dalam lagi. Soal permohonan Asahi, entahlah apa Junkyu sanggup datang, sekedar mengucapkan selamat, lalu pergi dengan terus tersenyum seolah dirinya ikhlas dan bahagia.

Biarlah besok berlalu sesuai jalannya. Junkyu hanya manusia yang turut hanyut akan alurnya.


Berdirinya Asahi dan Haruto di atas pelaminan menandakan dua insan setara kasta itu sah sebagai pasangan suami. Riuh tamu undangan dibuat terpukau atas pesona keduanya. Bibir ke bibir tak henti memuji pada dua orang tua yang tak malu membanggakan sosok sang anak. Lain di bawah, Haruto hanya berdiri dengan tatapan dinginnya. Tak ada siratan suka sedikitpun, siapapun yang melihat dengan jeli akan tau bahwa pernikahan ini tak pernah ada dalam mimpi indahnya.

Sedangkan sosok kecil disampingnya mencoba ramah sebaik mungkin, menanggapi setiap ucapan selamat yang terlampir. Sesekali fokusnya mengedarkan pada seluruh gedung luas tempat mereka berpijak. Hatinya terus berharap, pemuda sahabatnya akan datang. Setidaknya Asahi tau bagaimana keadaan Junkyu saat ini. Apa sehat? Apa cukup makan dan tidur? Apa sudah kembali bekerja?

Sampai dua jam berlalu dimana pesta resepsi sebentar lagi selesai tak ada tanda tanda manusia lucu itu hadir diantara mereka.

“Junkyu benci banget pasti sama gue.” Monolog Asahi lirih masih bisa di dengar Haruto yang duduk disampingnya.

“Percaya sama gue, Junkyu gabisa benci sama orang apalagi kamu sahabatnya sendiri.”

Haruto mengambil satu tangan Asahi untuk digenggam, memberikan sedikit kekuatan. Asahi sudah cukup lelah melalangbuana mempersiapkan pernikahan sambil setengah jiwanya memikirkan keadaan Junkyu. Bukan, bukan Haruto tak lagi memikirkan Junkyu hanya saja salah satu diantara mereka harus ada yang lebih kuat. Mengesampingkan urusan hatinya Haruto mencoba terus berjalan maju. Memang benar, hidup ditengah perasaan bersalah seperti dibunuh secara perlahan.

Asahi sontak berdiri, matanya membulat dengan degub jantung berdetak tak beraturan. Itu Junkyu, sosok yang ditunggu tengah memberi hormat pada papa dan mama Watanabe.

Haruto hanya sanggup memandang dari kejauhan dengan tatapan sakit juga merindu. Pemuda cantik tambatan hatinya tak nampak bersinar kembali, tubuhnya berangsur kurus, senyum keceriaan yang bisa mempesona siapapun disembunyikan dengan baik. Hanya dari jauh Haruto tak lagi merasakan kehangatan disekitarnya.

Asahi turun pun dengan Haruto setelahnya, menghampiri Junkyu yang juga sedang berjalan ingin menyapa sebentar sang pemilik hari bahagia. Di waktu para sahabat yang akhirnya dipertemukan kembali suasana mendadak sunyi, seluruh atensi tamu tersisa ada pada ketiganya dengan tatapan bertanya siapa pemuda sederhana ini sampai kedua mempelai lebih dulu menghampiri.

“Junkyu...” Satu kata keluar dari bibir Asahi bersamaan setetes air mata turun bebas melewati pipinya yang telah memerah.

Junkyu tersenyum kecil, sahabatnya menangis tersiksa karena dirinya. Junkyu membungkuk sebentar, tak sanggup menatap manik Haruto yang sedang menatapnya penuh kesakitan apalagi Asahi yang tengah dibanjiri air mata. Junkyu sudah lelah menangis, kedatangannya kesini hanya untuk mengikhlaskan.

“Kalian...” Ucap Junkyu tercekat, namun berusaha tersenyum meskipun bibir sialannya mulai bergetar.

“Ss..selamat ya.” Lanjutnya.

“Bahagia terus. Gue gapapa hiks.. sumpah gu-e gapapa HIKS.” Junkyu menyesal, dirinya sosok pria dewasa harusnya tak selemah ini. Kenyataan seberapa kuat tangannya menahan bibirnya yang terus terisak semakin membuat dadanya sesak.

“Junkyu....” Asahi menghambur memeluk Junkyu erat, mengadu bahwa dirinya benar merindukan sosoknya. Mengatakan bahwa sejujurnya Asahi teramat menyesal telah membuat mereka menjadi tersakiti begini.

“Maafin gue sumpah, Yatuhan gue harus gimana biar kita kayak dulu lagi. Maaf maafin gue.” Kata-kata Asahi ditengah tangisnya, tak peduli lagi akan riasan atau tatapan aneh seluruh orang disana. tak peduli seberapa kata maaf yang dikeluarkan bahkan jika Junkyu menyuruhnya untuk berlutut Asahi sanggup melakukannya. Melihat sahabatnya begini rapuhnya membuatnya menjadi manusia paling kejam di dunia. Karena Asahi tau hanya Haruto dunia yang Junkyu punya begitu sebaliknya dan Asahi adalah saksi mata bagaimana benih-benih cinta itu muncul hingga berbunga indah.

Junkyu menjauhkan tautan tubuhnya dengan Asahi, menatap sahabat kecilnya iba. Jemari panjangnya Ia usapkan pada tiap air mata yang terus menetes tak peduli akan rupa miliknya yang tak jauh beda.

“Asahi, gue gapapa. Udah, gue ikhlas.”

Junkyu tersenyum, berusaha meyakinkan keduanya bahwa dirinya tak apa. Junkyu melirik Haruto sejenak, ganteng seperti biasa. Sedangkan yang ditatap memalingkan maniknya ke arah lain. Ingat kan? Harus ada yang lebih kuat diantara mereka. Haruto takut, Haruto tak sanggup menatap netra cantik yang sekarang sendu. Haruto ingin sekali merengkuh tubuh ringkih itu, memberikan tempat istirahat ternyaman seperti yang dilakukan sedari dulu, membiarkan bibir lucu itu terus mengadu tentang hari-harinya dimarahi pelanggan toko bunga atau tangannya hampir disengat lebah. Dimana akhirnya mereka saling memberikan afeksi, mengucap kata-kata penenang seolah hari esok akan lebih baik lagi.

Tubuh tegap Haruto mengang saat syaraf tangannya menerima sentuhan lembut. Junkyu menggenggam tangannya sesekali memberi usapan menenangkan. Tangannya yang lain juga mengambil milik Asahi. Haruto maupun Asahi menatap Junkyu, lebih tepatnya menantikan apa yang akan dilakukan lelaki itu.

Junkyu menyatukan tangan Haruto dan Asahi. Ditatapnya nanar keduanya dimana tersemat cincin cantik yang mana dirinya tak memiliki itu. Junkyu seperti ditampar akan keadaan, sudah tidak ada lagi cela baginya.

Junkyu menatap kedua wajah sahabatnya bergantian. Disematkan senyum paling indah untuk keduanya.

Tepat detik ini Kim Junkyu memilih mundur dan mengikhlaskan sang dunia berputar pada matahari barunya. Haruto untuk Asahi, bukan Haruto untuk Junkyu.


Haruto baru menyelesaikan kegiatan mandinya, mengusap-usap rambut basahnya sejenak. Netranya reflek berubah layaknya mesin scan saat dirasa suasana menjadi sepi. Asahi, terakhir dia melihatnya sedang duduk termenung pada pinggir tempat tidur. Dimana pria mungil yang telah sah menjadi suaminya.

Tujuan terakhir Haruto tepat sasaran, disanalah Asahi, bersandar pada balkon menerawang entah apa sembari memainkan cincin kawinnya.

“Sa? Masuk ayok, disini dingin!” Haruto menyampirkan selimut tebal. Asahi ini bodoh atau apa berdiri menantang cuaca dingin dengan hanya kaus tipis.

“Menurut lo kita jahat banget nggak sih sama Junkyu?”

Haruto menghela napas kuat-kuat, Junkyu lagi. “Sa udah, Junkyu udah ikhlas, dia bakal baik-baik aja kok cuma butuh waktu. Katanya kamu bakal berhenti bersikap kayak gini pas udah ketemu Junkyu. Please, gue gak mau lo malah jatuh sakit.”

Asahi bergeming tak sama sekali mengindahkan kata-kata Haruto yang menurut Asahi hanya sebagai umpan aja biar Asahi bisa lupain semuanya. Padahal jauh dilubuk hatinya Haruto lebih menderita.

“Enggak, To ternyata gue salah. Gue kira dengan datengnya Junkyu bikin gue lega. Tapi ngeliat Junkyu dengan keadaan mencoba baik-baik aja demi kita buat gue semakin merasa bersalah.”

Haruto geram, dirinya memasaksa tubuh Asahi menghadap padanya. Mata elang nan tajam itu menusuk manik lemah milik Asahi. Meskipun begitu Asahi semakin sedih dibuatnya, Haruto itu sosok hangat dibalik gaya dinginnya dan moment ini pertama kali Asahi tak menangkap aura hangat ada pada dalam diri lelaki di depannya.

“Dengerin gue. Hidup gue, hidup lo ga cuma tentang Junkyu. Berhenti mikirin Junkyu, jalanin apa yang ada. Gue sama lo, Junkyu sama dirinya sendiri.” Ungkapnya dengan penuh penekanan.

Asahi meringis, Haruto kelewat emosi hingga meremat bahunya terlalu kuat. Asahi bisa rasain seberapa banyak emosi yang Haruto pendam. Mengesampingkan hatinya demi Asahi, demi kedua orang tua mereka, demi orang banyak di pesta tadi.

“Haruto...” Panggil Asahi lirih. Telapak tangannya yang hangat berhasil menangkup rahang tegas milik suaminya. Obsidiannya menatap lurus hingga masuk dalam iris hitam kelam.

I know how hurt you're. Lepasin jangan ditahan.”

Pertahanan Haruto runtuh, tembok kokoh yang telah dibangunnya sejak satu bulan lalu hancur seiring satu cairan bening yang akhirnya tumpah juga.

To make you better, kalau kamu masih mau lanjutin hubungan kamu sama Junkyu. Aku terima, aku juga gapapa.”

Haruto menatap Asahi tak suka, bola mata memerahnya menatap nyalang. Bukan begini jalan keluar yang dimaksud. Jujur, ada sebuah euforia menyenangkan dalam hatinya namun tetap dirundung kekecewaan. Bagaimana bisa Haruto menjaga dua hati terlebih dipersilahkan oleh pasangannya sendiri.

“Gila kamu.”

“Engga, Haruto dengerin gue dulu.”

“Diem!”

Asahi tersentak akan suara rendah milik Haruto. Tak pernah tau bahwa Haruto semengerikan ini saat marah.

“Gue tau kita desperate sampek mau gila tapi ga gitu caranya. Mending lo tidur, biar otak lo jernih. Kita ngomong lagi pas kita sama sama udah baik.”

“Haruto!”

“HARUTO!”

BLAM!!!

Asahi paham dirinya gila, tapi jika dengan cara ini mereka bisa bahagia maka Asahi akan lakukan.

to be continue....

Part 2. Watanabe Haruto


by: teuhaieyo