i told sunrise about you.

I'm afraid being alone in the morning. – PP Krit.

a billkinpp alternative universe


a/n : seluruh kilas kejadian pada cerita ini murni fiksi, bukan berdasarkan kejadian sebenarnya.


Dua pemuda itu berlari, saling mengejar diatas hamparan rerumputan hijau dikelilingi bunga. Rautnya bahagia, bak terjebak di negeri dongeng dengan cerita akhir happy ending. Keduanya pun jatuh dengan saling menindih, saat salah satunya berhasil tertangkap. Tak ada erangan sakit, hanya gelak tawa seakan jatuh pada tumpukan kapas lembut. Hanya sekilas menilik, kita dibuat tahu betapa indahnya dunia yang mereka genggam.

Deru napasnya terdengar, kedua manik indah milik keduanya saling bersitatap saling membaca perasaan masing-masing melalui binar netra. Tak berselang lama garis bibirnya melengkung ke atas.

“Apa jadinya diriku tanpa kehadiranmu?”

Ujar yang dibawah sembari membelai anak rambut yang jatuh dipelipis dominannya. Jemari lentiknya bergerak, menjamah setiap sudut rupa menawan nan tegas. Manik matanya pun begitu, terpaku pada mata sendu yang kian bersinar diterpa mentari.

“Masih tetap dirimu. Namun tak sebahagia ini.” Balas si dominan penuh percaya diri. Seakan seluruh sumber kebahagiaan pemuda di bawahnya murni karena dirinya.

Bukan hanya bualan, namun benar itu realitanya. Billkin Assaratanakul adalah penyangga hidupnya, sumber kekuatannya, mataharinya dikala gelap mampir dan PP Krit tak sanggup hidup tanpa sosoknya.

Billkin bergerak turun membuat tubuhnya semakin menghimpit pemuda manis di bawahnya. Satu lengan kekar digunakan untuk menyangga berat tubuhnya, sedangkan yang bebas mencengkram tengkuk pucat milik PP. Dua pahatan paras sempurna itu saling mendekat, beradu deru napas. PP menutup maniknya, tatkalah hidung dan hidung sudah saling menempel. Pemuda manis itu hanya mengalungkan kedua lengan ringkihnya, menunggu sang dominan menjamah si benda kenyal.

Belum sempat milik keduanya bertemu, hembusan angin dasyat melintas. Langit biru berlapis kapas putih telah berganti dengan keabu-abuan. Kilat menyambar disertai hujan lebat tiba-tiba. Rentetan bunga penuh warna disekitarnya berubah menjadi hitam.

“Billkin, aku takut.”

PP bergetar, tubuh kurusnya berlindung meringkuk dibawah kungkungan Billkin. Kedua telinganya ditutup, tak ingin mendengar suara menggelegar dari guntur.

“PP, tolong lihat aku!”

Suara Billkin tinggi nan tegas. Kedua tangannya menarik paksa tubuh lemah itu untuk menghadapnya. PP menggeleng, dirinya kepalang takut hingga tak sanggup menyaksikan kegelapan disekitarnya.

“PP Krit!” Bentakan Billkin mengudara. PP sontak menatap tepat pada mata sendu kesukaannya itu. PP masih bergetar, pandangannya kabur akibat lelehan air mata ditambah derasnya air hujan menerpa kulit lembutnya.

“Aku harus pergi, menghentikan semua ini.” Ujar Billkin perlahan, mencoba meyakinkan sosok dihadapannya.

PP menggeleng ribut, tangisannya pecah menjadi-jadi. “Nggak, Kin. Kamu disini aja. Aku takut sendirian.”

“Kamu harus bisa hidup sendiri.”

“Nggak... Billkin,.”

“I have to go.” Itulah kalimat terakhir yang Billkin sematkan pada PP. Seakan egois, Billkin melepaskan rengkuhannya. Berlari menembus kegelapan tanpa menoleh sedikitpun.

“BILLKIN!...BILLKIN!....”

Tak peduli seberapa hebat PP mencoba untuk menggapainya kembali.


“BILLKIN!”

PP terbangun dari mimpinya dengan napas memburu. Jantungnya berdegup tak karuan dilanjutkan terproduksi peluh sebesar biji jagung ikut memenuhi pelipis putihnya. PP terduduk, bola matanya bergerak kesana kemari. Dia masih di kamar dengan lampu putih terang.

PP menarik napas perlahan, sesekali menutup matanya guna menenangkan. Atensinya lalu menuju pada space disampingnya. Ucapan syukur dirapalkan kala masih mendapati seonggok daging terbungkus bedcover hingga menutupi setengah wajahnya. Billkinnya masih disini.

PP turun menuju dapur. Suasananya sepi, namun seluruh ruangan terang membuat hatinya nyaman. Ya, PP punya gangguan kecemasan saat sendirian dan berada di ruangan gelap. PP benci waktu malam, seluruh ruangan termasuk kamar lampunya menyala saat langit menjadi gelap.

Sebuah lengan melingkar apik pada pinggang ramping PP, membuatnya sedikit tersedak air yang tengah diteguknya.

“Apa terjadi sesuatu?” Tanya Billkin, suami PP dalam suara serak.

PP hanya tersenyum, Billkin selalu peka jika PP butuh penenenang. “Tidak. Hanya mimpi buruk.”

PP memilih untuk tak menceritakan mimpi buruknya kali ini. Terlalu mengerikan.

“Tentang apa? Mau bercerita? Akan kusiapkan teh ha-”

Belum selesai Billkin berucap, PP berbalik. Pemuda manis itu mengecup sekilas rahang tegas milik Billkin. “I'm ok. Ayo tidur, besok kamu penerbangan pagi bukan?”

PP meletakkan gelasnya, menggandeng Billkin yang masih dipenuhi dengan rasa penasaran tuk kembali melanjutkan tidur.

06.00 a.m

Pagi menjelang, langit hari ini benar cerah. Mendung dan hujan nampaknya kalah bersaing dengan panasnya matahari. Udaranya sejuk, sangat pas untuk sekedar duduk ditemani teh hangat.

Seperti yang dilakukan pemilik nama PP Krit. Ia hanya duduk di balik jendela sembari melamun menatap taman kecil miliknya. Tangan dinginnya sibuk mencari kehangatan pada badan cangkir berisi teh hangat. Kulit putih pucatnya sedikit memerah diterpa sinar mentari.

“Sayang.”

Lamunannya buyar seiring suara halus menyapa gendang telinganya. PP tersenyum tipis, perasaannya hari ini tak sebagus cuaca diluaran. Namun, PP dengan sebaik mungkin mengatur mimik wajahnya agar tampak bahagia.

PP meletakkan cangkirnya, secepat kilat berdiri dihadapan sang suami yang telah rapih dengan seragam kebanggaannya. Jemari indah itu dengan cekatan merapihkan kemeja putih hingga lusuhnya tak nampak. Billkin gagah seperti biasa.

“Aku akan pulang dijam seperti biasa, jangan cemberut seperti ini.” Tangan jahil Billkin menarik bibir PP yang memang sedikit maju.

PP menatap lelaki itu tak semangat. Hari ini mood-nya begitu buruk. “Jujur, ada perasaan nggak enak. Aneh gitu.”

Billkin tersenyum, lelaki yang telah dinikahi selama 2 tahun ini kadang memang terlalu khawatir berlebih. “Mungkin karena masih terbawa mimpi buruk semalam. Aku sudah menawarkan untuk cerita tapi kamu menolak. Inilah akibatnya.”

“Haahh...” PP menghela napas berat, berusaha mengeluarkan gundah dalam dirinya.

“Aku mau ikut nganterin kamu ke bandara.” Lanjutnya.

Billkin cukup terkejut dengan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir si manis. PP tidak pernah mengantarnya sampai bandara karena itu cukup jauh.

“Kamu yakin? Apa tidak lelah menyetir pulang lalu kembali menjemput di sore hari?”

PP mengangguk tegas. Hari ini dia ingin bersama Billkin lebih lama. Meskipun hanya satu detik tersisa, PP ingin menggenggam tangan hangat milik Billkin.


Suvarnabhumi Airport 09.20

Dua pria itu memasuki kawasan bandara. Bak model profesional, keduanya mencuri atensi hampir seluruh pengunjung. Yang satu gagah berani dibalut kemeja pengemudi kapal terbang, yang tengah digandeng anggun hanya dengan balutan kemeja oversized ditambah celana kain hitam.

Si gagah, Billkin sesekali memamerkan senyum ramahnya pada rekan penerbangan lain yang terlihat telah selesai bertugas.

“Pak Billkin.” Sapa sosok lelaki. Tiba-tiba saja sudah berjalan berdampingan disebelah Billkin.

“Pond. Gimana?”

Fit banget pak hari ini.” Jawab lelaki yang memang terlihat jauh lebih muda daripada Billkin.

Pond ketprapakorn, lulusan termuda sekolah penerbangan yang juga menjadi institusi Billkin. Diumur belia ini Pond sudah menemani Billkin menjadi co pilot, melalang buana membelah langit.

*Pengumuman bagi seluruh pegawai yang bertugas dengan penerbangan Thai Airlines tujuan Chiangmai agar berkumpul untuk pelaksanaan apel keberangkatan*.

Billkin berhenti saat di depannya adalah pintu boarding. Cukup sampai disini saja PP mengantar. Billkin sejenak menghadap suaminya, menggeleng pelan saat rengkuhan jemarinya tak longgar sedikitpun, seperti enggan melepas Billkin pergi. Billkin jadi setengah hati bertugas, namun Ia mana boleh egois. Ada banyak anggota keluarga yang harus diantar pulang ke rumah dengan selamat.

Billkin membawa PP pada sebuah dekapan hangat. Bersentuhan dengan dada bidang Billkin, PP menjadi sedikit nyaman. PP tersenyum kecil saat berhasil menangkap irama degup milik Billkin. PP lantas menutup matanya, menikmati setiap detik yang tersisa. Ia harus yakin, nanti sore Billkin akan kembali memeluknya seperti ini.

“Yaampun kayak masih pengantin baru.” Ujaran Pond menyahuti.

PP melepas terlebih dahulu, dirinya lupa masih ada orang ketiga diantara mereka. Malu. “Pond...”

Pond selain dekat dengan Billkin juga dekat dengan PP.

“Hayuk Pak, ga bakal berangkat kalau kaptennya belum join apel.”

Billkin menatap suaminya lekat sekali lagi. Membelai pipinya yang sedikit memerah jika dipagi hari. Dari sorot mata sosok tegas itu, Ia memberikan pengertian bahwa PP tak perlu khawatir.

Billkin bergerak mendekat. Seakan paham, PP menutup netra cantiknya. Alis berkerut saat merasakan basah pada dahi bukan bibirnya yang suaminya jamah.

“Aku berangkat ya...” Pamitnya.

PP mengangguk tak rela, “Hati-hati, nanti aku jemput.”

“Tunggu aku telpon saja baru otw biar nggak kelamaan nunggu. Soalnya dari Chiangmai suka delay.”

“Iya, udah sana berangkat keburu aku nggak ikhlas lagi.” Balas PP bercanda, pemuda manis itu sedikit mendorong suaminya pergi.

Billkin tergelak, seiring langkahnya menjauh diikuti Pond yang hampir muntah melihat adegan uwu selama lebih dari 15 menit.

“Nanti bibir kamu, aku tagihnya pas pulang!” PP mendelik tak percaya. Bagaimana bisa suaminya tak tahu malu berteriak seperti itu.

PP berhenti melambaikan tangannya saat punggung lebar itu hilang dibalik pintu. “Ya Tuhan, lindungilah dia.”

Sky, 30000 ft.

Di atas hamparan langit biru yang luas, burung besar itu melayang. Membelah setiap gumpalan putih tak pantang takut. Pengemudinya pun begitu, penuh konsentrasi dan keseriusan. Tak ada sedetik mata jelinya beralih menatap yang lain selain jalan biru di depannya.

“Mulus Pak.” Puji Pond saat pesawat berhasil naik diketinggian 30000 kaki dengan cantik.

Billkin bisa lega sekarang, armadanya telah terbang stabil dan cuaca masih mendukung.

Pond menyerahkan sebungkus permen jeli tepat di depan mulut Billkin yang tertutup rapat. Billkin melirik sedikit, lantas membuka mulut. Segar, saat rasa manis berhasil dikecap lidahnya.

“Santai, Pak. Cuaca kayaknya dengerin doa suami bapak biar cepet pulang.”

Billkin terkekeh, tetapi maniknya masih menatap lurus ke depan. “Bagus kalau begitu. Saya juga sudah kangen sama dia.”

Pond menanggapi dengan gestur ingin muntah. Senior di sampingnya ini bualannya seperti orang tua. “Jadi pengen nikah juga.”

“Sudah ada calonnya?” Billkin bertanya sembari jemarinya bermain pada alat kendali.

“Belum, tapi mau yang bucin kayak suami bapak.”

“Waktu saya dibucinin tinggal sedikit lagi.” Balasan Billkin membuat Pond sontak menengok, menatap seniornya dengan pandangan horor.

“Bapak ada masalah sama...” Tanyanya dengan nada lirih.

“Iya, abis ini dia bucinin anaknya bukan saya lagi.”

Pond mendelik, kabar bahagia lagi-lagi dihaturkan. Sepertinya dunia sedang ada di titik terbahagiannya.

Tower pada kapten TA 065, ganti.”

Pond mengambil alat komunikasi dengan secepat kilat, mendekatkan bibirnya sambil memencet tombol disebelah kanan. Co-pilot masuk, silahkan bicara.”

Belum selesai menyampaikan, burung besi terbang itu seketika dikelilingi warna abu-abu. Bak masuk di negeri antah berantah yang tadinya berwarna seketika menjadi suram.

“Ba..,ha-ti., naik 10-...”

Panik melanda, namun Pond dan Billkin masih berusaha tenang. Lengan kekar Billkin menggenggam erat kendali hingga uratnya mencuat.

“Halo.. halo... Co-Pilot pada tower, ganti.”

Tak ada jawaban, hanya suara gemerisik disebrang sana.

“Tenang, sepertinya sinyal agak terganggu karena mendung.” Ujar Billkin menenangkan, meskipun dirinya sendiri bingung memilah-milah pengalaman memegang kendali guna menemukan tindakan yang tepat. Menghindari badai tanpa bantuan tower lalu lintas sangat sulit dan riskan.

Zzzzsaaassszzz

Hujan datang menerjang tubuh kokoh berlapis besi, seluruh debu yang menempel mendadak luntur. Suara gemuruh mulai terdengar ribut, kilatan-kilatan cahaya nampak seperti berada di tengah-tengah jutaan flash kamera, memotret betapa ketakutannya raut wajah yang tersampir.

Co-pilot pada tower, ganti.”

“Kita naik menghindari badai. Beri pengumuman pada penumpang akan terjadi turbulensi.” Putus Billkin.

“Riskan, Pak. Nggak ada panduan dari tower untuk naik.”

“Tidak ada pilihan lain, kita di tengah-tengah samudra, pendaratan darurat sama dengan bunuh diri.”

Pond mengambil napas perlahan seraya berdoa semoga pilihan mereka kali ini benar. Pond mengambil mikrofon pengumuman, mengaktifkannya lalu memberi pengumuman dengan suara tenang.

Billkin lebih fokus, begitupula dengan Pond yang siap mengikuti apapun keputusan seniornya. Billkin mulai menarik kemudinya erat, menghiraukan guncangan yang terjadi. Telapak tangannya berkeringat, namun tak bisa dilepaskan meskipun urat nadinya putus begitu saja.

Jdarrr

Pesawat terbang miring ke kiri, teriakan panik dan memilukan terdengar hingga kursi kendali pilot. Tangisan bayi diikuti rapalan doa-doa dilantunkan dalam berbagai keyakinan. Suara nafas tercekik dari orang-orang tua ikut meriuhkan suasana.

“Pak sayap kanan patah sebagian. Kita jatuh Pak!” Pond menangis, entah mengapa jalan pikirannya keruh. Lembaran ilmu yang Ia berhasil serap dalam waktu singkat hilang begitu saja.

Billkin masih kukuh memegang kendali, tubuhnya basah kuyup diterjang keringat dingin. Nafasnya sesak akibat saturasi oksigen mulai menurun. Pesawat hilang kendali, namun tak satu jarinya pun sempat mengambil kantung oksigen.

“PAK! GUNUNG!”

Terlambat, apapun tindakan yang akan dilakukannya tiada guna. Percobaan pendaratan pada hamparan air samudra untuk menaikkan angka kelulusan hidup tak pernah terjadi. Badan besi kokoh itu rusak remuk terbelah menabrak kokohnya gunung di ujung samudra.

Keadaan sunyi senyap, tak ada teriakan kepanikan disana selain suara debuman berkali-kali dari mesin yang meledak. Kobaran merah dari api bercampur darah menjadi pemandangan paling tragis.

“Sh.. sakit...”

“Billkin?”

Sebuah suara masuk dalam dunia gelapnya. Seonggok daging yang tak lengkap lagi bagiannya masih dibiarkan hidup pada ambang kematian.

“Billkin”

“P..p., a-akh-u pu-l-a..ng.”

Ke rumah yang lebih indah dimana aku akan menunggumu disana.


Epilogue

Matahari perlahan naik ke permukaan. Kilaunya memancar tanpa malu-malu menghapus kegelapan yang sebelumnya ada. Hembusan angin disertai suara deburan ombak begitu mencerminkan bagaimana indahnya suasana pantai.

Dua sosok lelaki itu saling bercengkrama, di asta tebing sepi menghadap pada hamparan air biru seperti tiada ujung. Suara candaan sesekali terdengar meskipun kecil akibat diredam angin kencang.

“Kok pesawatnya warna hijau sih.” Ujar sosok yang lebih dewasa diantara mereka.

“Ini pesawatnya pasukan perang, Pah.” Sosok kecil itu membalas, namun konsentrasinya penuh pada buku gambar dipangkuannya.

PP, sosok dewasa itu membelai surai lebat, mencium puncak kepala kecilnya. Menghirup aroma sampo khas anak-anak.

“Pah..” Panggil si kecil, saat ini tangan si kecil bergerak mencoretkan warna kuning pada gambar matahari.

“Kenapa namaku Arthit? Arthit kan matahari ya, Pah?”

PP menerawang ke depan, kulit putihnya diterpa sinar mentari. “Karena Papa suka matahari. Papa nggak suka gelap dan kamu yang jadi mataharinya Papa.”

Kepala kecil itu mengangguk lucu. Tangan yang sedari tadi sibuk jadi berhenti. Binar mata indah mirip milik seseorang di masa lalunya menatap milik PP lamat. “Kalau Papa jadi bumi, terus Arthit jadi matahari, berarti Ayah yang jadi bulan ya Pah?”

PP Tertegun, hanya menatap dalam pada manik si kecil sudah cukup untuk memutar kenangan-kenangan indah beberapa tahun lalu. Suaminya seperti terlahir kembali menjadi sosok Arthit.

“Bukan. Ayah juga mataharinya Papa, tapi dulu sebelum kamu lahir.” PP tersenyum melihat raut yang sepertinya tak mengerti satupun yang dijelaskan PP.

“Berarti Arthit sekarang gantiin Ayah ya, Pah?”

PP mau tak mau tergelak. Anak semata wayangnya ini tingkat keingintahuannya tinggi. Dia akan menanyakan pertanyaan sampai akarnya, terkadang membuat PP pusing sendiri.

“Iya, Arthit gantian Ayah jagain Papah ya?”

Arthit tersenyum, mengangguk dengan semangat lalu memeluk Papanya erat. “Aku janji sama Ayah akan jaga Papa.”

Phrathity Assaratanakul, matahari terbit ditengah gelapnya dunia PP Krit.

Kepada Billkin matahariku yang telah pergi, terima kasih karena telah menitipkan sosok pengganti untuk terus menerangi duniaku. Si kecil yang selalu ingin tahu kehidupanmu di masa lalu. Malaikat kecil obat penenang PP Krit yang rapuh. ㅡ PP Krit

END


Selalu berterima kasih kepada mbak 𝙘𝙞𝙣 @scintillaaa00, karena dia yang selalu ngingetin aku tentang Billkinpp.

SAN