his concern.
Peter Point of View.
Dia melempar ponselnya sembarangan ketika saya baru keluar dari kamar mandi. Saya bisa merasakan bahwa hawa di sini sedang buruk. Rasa kesal, jengkel menyelimuti.
Saya mengambil ponsel yang terlempar hingga berada di ujung kakinya. “Kamu kenapa, sayang?” Saya bertanya meskipun dia gunakan jurus tidur. Padahal kerutan wajahnya masih terpampang jelas.
Ponsel di atas nakas, lampu di matikan, saya pun bergabung masuk dalam selimut yang sama. Biasanya, saya akan memaksa diri untuk selesaikan beberapa pekerjaan kecil, ditemani dia bersama cerita tentang hari ini atau berandai tentang hari nanti. Namun, khusus malam ini mari sejenak lupakan pekerjaan untuk dia, saya kerahkan seluruh perhatian.
“Kalau memang mau tidur ya tidur, jangan sambil berpikir. Kasihan otaknya gak bisa istirahat.” Tutur saya sambil mengusap kerutan di dahi.
Inilah dia mata cantiknya terbuka kembali. Saya siaga di tempat, menyambut dengan senyuman terbaik. Dan dia akan menggeser tubuhnya lebih mendekat, menuntut sebuah dekapan lengkap dengan afeksi untuk membuat dirinya lebih baik lagi.
“Kayaknya planning liburan tahun baru bakal mundur jauh deh.” Mulainya cerita. Suaranya cukup kecil pula menggelitik sebab bibirnya tepat di depan tengkuk saya.
Saya tak menjawab, masih ingin mendengar kekhawatirannya lebih jauh. Napas berat pertanda putus asa membuat tangan ini terus menepuk punggungnya nyaman.
“Kok bisa ya orang limpahin tanggung jawab gitu aja. Ga nanya dulu. Padahal aku udah menuhin jadwal sampai tanggal 29 biar kita sampai sana tepat waktu.”
Saya berikan kecupan kilat pada puncak kepalanya. “Gak apa, tiketnya kan belum di beli. We lost nothing, sayang.”
“No!” Dia menjauh beri jarak di antara kita. Mata kami bersihtatap dengan pandangan berbeda. Dia bersama kekecewaan, dan saya dibuat kebingungan.
“We exactly lost everything. Kita kehilangannya kesempatan, waktu, dan paling penting kepercayaan kakak.”
“Kita kan udah janji mau liburan bareng yang jauh. Aku liat sendiri effort dia whole semester ini gimana, usahain nilainya lulus semua biar ga usah ikut semester antara yang akan ambil waktu libur. Dia semester depan udah mulai magang dan persiapin skripsi dimana liburan itu ga berarti buat dia. Terus kita juga udah janjiin mami.”
“Hei,” Saya menariknya kembali. Memeluknya lebih erat lagi. Tepukan punggung kini berganti dengan belaian lembut. Saya bisa merasakan debaran jantungnya perlahan jadi normal.
“It's ok, it will gonna be ok.”
“It isn't okay.” Cicitnya.
“Hei, kamu kan belum lihat proposal project-nya, atau aku salah?” Dia mengangguk membenarkan.
“There you are. Besok kamu minta detailnya, belum tentu kerjaan ini akan ganggu planning liburan kan? Hari ini baru masuk tanggal 2 Desember, sayang. Masih ada kesempatan untuk diskusi lebih banyak. Kalau memang sulit bisa tolak baik-baik. Kalau memang kamu suka tetapi akan ganggu rencana liburan. We will be just alright. Mundur sedikit gak mengurangi kesenangan.”
Hahhh
Terkekeh saya mendengar helaan nafas pasrahnya. Saya baru ini melihat dia kesulitan menghadapi pekerjaannya. Dia si paling percaya diri mengambil setiap keputusan.
Saya menyadari bahwa rencana liburan ini dia yang paling bersemangat. Well, saya juga, Nakunta tentu saja. Namun, dia nomor satunya seolah rencana ini kalau boleh besok harus terlaksana.
Mungkinkah kebersamaan kita mulai berkurang dalam benaknya. Sedikit... sebab seluruh pekerjaan dan kegiatan akan berlomba datang minta diselesaikan jika mendekati akhir tahun. But, we did talk really well. Belum ada kesalahpahaman yang mengakibatkan argumentasi antara saya dan suami belakangan ini.
Atau ini hanya perasaan saya saja?
“Sayang?”
“Hmm...” Oh, dia masih terjaga.
“Memangnya kenapa kalau liburannya kita undur. It is just holiday anyway. You seem worry much about that.”
Basah, tengkuk saya basah kala bibirnya menyematkan kecupan ringan. “I miss you.”
“Huh?”
“I miss you,” Bisiknya.
Lantas, saya jadi tegang ketika jemarinya memaksa masuk melewati batas pertahanan. “Also him too inside me.” Bisiknya seduktif.
Kini saya mengerti betul alasannya. Benar, memang sudah lama milik kami berdua tak menyapa satu sama lain. Rumahnya sering kosong sebab pemiliknya tengah sibuk berkelana. Betapa dia juga rindu akan pulang. Di dalam sana tentu sangat nyaman.
“Besok weekend, aku bisa pastikan tidak ada yang akan menggangu hari libur. How about you, Ai?”
“Aku juga.”
“Then?”
“I serve you all mine, mas. Fuck me, ruin me, pleased me daddy.”
“As you wish, your majesty.”
`hjkscripts.