henry fox ; new him.
Ham Market St. Bridge Hampton City, BH
Henry tersenyum pada wanita paruh baya dengan begitu banyak pertanyaan tentang bunga. Dia mengikuti langkah tertatih, menjelaskan dengan sabar artinya satu persatu.
Beginilah Henry sekarang, bukan pewaris istana, bukan juga seorang pangeran. Henry hanyalah rakyat biasa yang hanya punya nama terdiri dari dua kata. Henry kini yang berhasil melewati fase sengsara. Memulai dari merangkak hingga kini kuat berdiri dengan dua kakinya.
Dia adalah lelaki matang dewasa hidup sendiri ditemani dua buah hatinya. Dia yang tak pernah berhenti berusaha untuk memenuhi kebutuhan badan berjumlah tiga. Dia mana tau arti lelah, sebab lelah artinya susah.
Henry Fox bukan yang versi masa kecil atau muda. Bukan pula versi remaja atau remaja baru dewasa. Henry Fox yang ini pembaharuan yang lebih, lebih baik daripada sebelumnya. Terlihat sederhana namun banyak menerima cinta. Henry Fox yang ini kenyang akan pembelajaran dari masa lalu pilu. Maka Henry Fox ini wujud nyata dari dirinya yang amat baru.
Jika bicara dahulu ketika pertama kali dirinya pindah ke kota ini. Bridge Hampton memang tidak pernah berubah, hanya masyarakatnya yang lahir dan mati. Pula Henry yang sudah banyak perubahan.
Henry datang dengan buah hati yang masih berbentuk gumpalan darah bercampur daging ditemani tiga maid utusan palace. Henry beradaptasi dengan lingkungan pun tubuhnya yang berubah drastis. Tiada hari tanpa sakit, tiada hari tanpa kelelahan, tiada hari tanpa mengeluh. Apapun keadaannya, di sini Henry tidak bisa bertingkah seolah dirinya seorang pangeran.
Pagi muntah, bukan bisa istirahat tapi harus belajar memasak. Esok harinya muntah, bukan bisa rehat sejenak harus belajar mencuci pakaian. Lusanya pening, bukan bisa memejam harus belajar bersihkan rumah. Malam terbangun sebab bayinya menangis tak dapat lagi tidur sebab paginya harus mengantar bunga. Bahkan kala ketiganya terserang demam, merawat dua bayinya lebih penting daripada dirinya sendiri.
Semua itu dia lakukan agar bisa mandiri. Semua itu dia lakukan agar bisa pergi dari bayangan keluarga. Henry lelah bergantung, sepeser pun ia tak butuh. Maka saat usahanya berjalan stabil, dia memutuskan untuk benar-benar pergi. Memulangkan maid menuju kerajaan, menjual rumah yang ditinggali dan pindah ke lain daerah, pula memutus kontak pada manusia di hidupnya terdahulu sehingga tiada satupun mereka yang dapat menghubungi.
Sehingga inilah Henry Fox masa kini. Dewasa berusia awal empat puluh dengan toko bunga kecil hasil keringatnya sendiri.
Henry Point of View.
“Ini kembaliannya dan ini barangnya. Terima kasih sudah datang, Nyonya.”
Aku menghela napas, menatap nanar punggung wanita paruh baya yang akhirnya pergi dengan satu kantong berisi bunga. Kepergiannya menandakan bahwa itu adalah pelanggan terakhir di Hari Jum'at.
Pukul tiga sore, toko tutup lebih awal di hari Jum'at. Aku bergegas membalikkan tanda toko buka menjadi tutup. Tidak lupa membersihkan kekacauan di hari ini juga menutup keranda pelindung toko. Semuanya aku kerjakan sendiri, berusaha secepat mungkin sebab tidak mau terlambat menjemput anak-anak dari boarding school-nya.
Bridge Hampton Boarding School adalah tempat yang cocok bagi papa tunggal dengan dua anak seperti diriku. Seorang papa yang harus bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup namun tidak ingin melewatkan perkembangan anak-anaknya. Menitipkan mereka dari Senin hingga Jum'at dan menghabiskan waktu saat Weekend datang.
Awalnya aku khawatir sejak mereka lahir, kedua tanganku sendiri yang merawatnya. Tidak ada satu hari pun terlewat aku mengetahui pertumbuhan dan perkembangannya. Namun, kehidupan manusia sederhana terus berjalan. Segala keperluan tidak instant tersedia dengan sendirinya jika tidak dibeli dengan uang dan uang tidak bisa datang jika tidak menghasilkan keringat untuk mencarinya.
Tin!
Aku membunyikan klakson mobil yang suaranya sudah hampir tak terdengar. Memberi tanda kedatangan, mengambil sedikit atensi dari dua remaja yang tengah seru bercanda tawa dengan kawannya.
Itu yang sedang berjalan beriringan adalah kedua putra yang aku amat sayang. Ini Nicholas, yang dengan sendirinya masuk ke pelukan kala kedua lengan ku rentangkan.
“Hi, pa! How are you?” Selalu begitu kalimat pertamanya.
“Fine. How are you, kak?” Kita berpelukan erat, saling menyalurkan kerinduan.
“I'm good. Glad you too.”
And he kissed me affectionally while i did the same but many times. Because Nicholas love affection.
Kedua adalah Viscount. Mereka berdua kembar, lahir dari orang yang sama di hari dan tempat yang sama dengan watak jauh berbeda. Viscount seratus delapan puluh derajat berbeda dari Nicholas.
Jika Nicholas menyerahkan dirinya sendiri, maka Viscount memilih untuk didatangi. Dia bergeming ketika aku ganti memeluknya.
“Papa kangen kamu, kamu kangen papa juga nggak?” “Hmm.” Dia itu tipe yang berlagak sok dewasa when actually he's such a crybaby.
Viscount maybe looks tough, all independen, whatever about skinship but i know he love me.
Mereka berdua membutuhkan dan menunjukkan afeksi dengan cara yang berbeda.
`hjkscripts.