henry fox ; and his cubs.


Flowers by Foxes Ham Market St, SH

“Foxes, breakfast is ready!”

Henry meletakkan tentengan pada tangannya di meja. Meja porselen ini biasanya dia gunakan untuk merakit pesanan bunga. Namun, seperti biasa sebelum toko buka di hari Sabtu, yang mana anak-anak selalu ikut membantu, meja ini berfungsi jadi meja makan keluarga.

Derap langkah kaki berantakan terdengar bersama suara gerutuan dan tawa. Henry geleng-geleng pasrah, sudah lelah menasehati anak remaja dengan kosa kata kasar yang mereka anggap biasa. It's Foxes morning routine anyway, berkolaborasi dengan gerutuan Nicholas sebab di dorong bercanda oleh Viscount dan tawa mengejeknya. Dan mereka tidak akan berhenti berargumen hingga makanan ada di depan matanya.

Makan pagi kali ini tak lengkap rasanya jika tidak ditemani acara televisi pagi. Nicholas si pemegang remote sibuk memilah saluran. Biasanya televisi akan sibuk menampilkan kartun Spongebob tetapi hari ini mereka berhenti di acara berita.

Televisi menayangkan sebuah adegan persidangan. Tentu itu bukan film semata, tapi nyata adanya. Kasus rumit tengah dihadapi Amerika Serikat yang sedang menjadi tontonan menarik dunia. Menteri Keuangan tiga kali dituduh melakukan korupsi ratusan triliun namun sulit untuk ditangkap hingga misteri kematian orang-orang yang berusaha mengekspos dirinya. Ini siaran sidang pertama sejak dirinya dilaporkan kembali ke meja hijau. Menggandeng pengacara baru dari sebelumnya.

“SHIT! THAT IS THE WILD DOG?” Nicholas berteriak mengumpat mengagetkan dua orang lainnya yang sedang ikut menyaksikan seksama.

“Nick, language please...” Henry memperingatkan dia untuk menjaga bahasanya.

Nicholas terkekeh, meminta maaf karena terlalu excited melihat siapa yang muncul sebagai pengacara disisi terdakwa. Sebutannya si anjing gila, pengacara liar yang sulit dikendalikan. Pengacara terkenal di Amerika dengan tingkat kemenangan hampir mencapai sempurna yaitu 98% dan kekalahan 2% itu pula sebab klien yang dia bela mundur dari permainannya. Itulah si anjing gila, Alexander Gabriel Claremont-Diaz anak mantan presiden Amerika.

“Siapa anjing gila?” Viscount bertanya bingung sebab di layar kaca hanya ada manusia tidak ada anjing.

“Pengacara itu, dia sebutannya anjing gila. Saking gilanya gak ada yang bisa kontrol argumen yang akan dia bawa. Lawannya tersudut dan dia akan menang lagi. He's Alex Claremont-Diaz.”

Viscount mengangguk saja, dia juga tidak terlalu peduli betul akan dunia kriminal atau apapun yang ada di berita. “Jadi dia bakal menangin koruptor sekarang? Orang yang jelas-jelas merugikan banyak orang?”

Nick mengangguk yakin, “He's going to win this. Dia punya sejuta cara untuk menang.”

“Aneh banget, harusnya lo sukanya sama pengacara baik-baik, yang tolong orang gak bersalah. Lah ini malah bela koruptor, pembunuh juga lagi.”

“There's no good guy or good intention in this tarnish field.” Nick menjawab menirukan suara bariton unik Alex Claremont-Diaz. “I don't like his game. But i still like him anyway, i mean his smart ass brain so amazing. Bayangin lo jadi hebat kayak dia, rumahnya di Austin megahnya kayak gimana, lo bisa ngapain aja. What a life.” Finalnya.

Viscount bergidik ngeri, melempar kentang ke piring Nicholas jijik, “What a creepy stalker you are, mate.”

Dan Henry, tidak ada satupun kata yang sanggup dia keluarkan untuk ikut bergabung dalam diskusi pagi kali ini. Nama itu masih terlalu berat untuk lidah mengeja tiap hurufnya. Memilih bungkam dan mendengarkan adalah jalan terbaik.

Asal kalian berdua tau... Iya, asal kalian berdua mengetahui.


Selesai sudah acara makan pagi, Henry beranjak inisiatif mengumpulkan bekas alat makan yang digunakan. Ada pantry kecil juga tersedia wastafel untuk cuci tangan. Dirinya berdiri di depannya mencuci piring kotor.

Kedua anaknya pun begitu, setelah makan pagi selesai kegiatan selanjutnya adalah membuka keranda pelindung toko. Memperlihatkan kepada orang-orang bahwa sebentar lagi toko boleh mulai beroperasi.

Nicholas sibuk sendiri, dari membalik tanda pintu menuju rak bunga, mengisi yang hampir kosong dengan yang baru dibawa dari kebun belakang rumah. Sedangkan Viscount masih duduk di tempat yang sama, berperang batin dengan diri sendiri mencari cara merayu paling efektif hingga dirinya dilepas untuk menonton konser dengan temannya malam ini.

“Vis?” “VIS?!” “Huh?”

Viscount terlonjak kaget kala mendengar nada tinggi daripada namanya. Dirinya terseret dalam dilema hingga tak mendengar jika sang papa membeberkan tugas pertama hari ini.

“Kamu denger gak tadi aku ngomong apa?” Tanya Henry dibalas gelengan.

“Itu buket yang sudah rapi tolong diantar sesuai alamatnya.” Perintahnya.

Viscount berdiri dengan berat hati. Ragu pula ingin berangkat mengantar namun terbebani pikiran yang belum tersalurkan. Konsernya malam ini dan sampai detik ini Viscount belum mendapatkan izin. Dan izin tidak semudah menulis surat absen sekolah.

“Pa?” Dia memanggil akhirnya. Kalau tidak sekarang kapan lagi waktunya.

“Kenapa?”

Viscount duduk kembali, kali ini disamping Henry yang tengah memulai pekerjaannya.

“Aku- aku boleh gak izin pergi nonton konser?” Tanyanya pelan.

Henry belum menjawab, seluruh bagian tubuhnya fokus pada satu pekerjaan yaitu merangkai bunga. Dirinya belum ingin terdistraksi sebab seluruh bunga harus terorganisir cantik dan sempurna.

Sabar menunggu Viscount masih di samping sang papa. Dia paham betul jika Henry tidak bisa diajak berbicara saat sedang merangkai. Setelah menyelesaikan tahap finishing Henry menyimpan hasil kerjanya, mengosongkan space di meja sejenak memberikan seluruh atensi untuk Viscount melanjutkan kalimatnya.

“Tadi kamu bilang apa?” “Aku boleh gak izin nonton konser?” “Konser apa? Kapan? Dimana? terus sama siapa?” Dan inilah papanya.

“Konser festival band gitu, acaranya malam ini di Ham Central Park sana. Aku pergi sama temen sekolah aku.” Dia menjawab sesuai dengan pertanyaan.

“Terus kamu berangkatnya gimana? Pulangnya juga gimana? Kan rumah kita jauh dari sini. Malam juga selesainya aku yakin.”

“Ya setelah tutup toko aku gak ikut papa sama Nick pulang. Soal pulang gampang aku nginep di rumah temen yang rumahnya sekitar sini, besok aku pulang.”

Henry menghela napas panjang. Bingung juga mau memberi izin tapi terlampau khawatir. Semua pertanyaan yang dilontarkan dijawab yakin seolah dia pergi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Konser di kota ini jarang dan jika ada pastilah amat ramai dan keramaian bukan sahabat baik bagi penyakit asma yang di derita Viscount.

“Dek, aku bukannya gak mau izinkan. Tapi konser itukan nanti banyak orang, panas, dan oksigen di sekitarnya kurang. Kamu itu kan gampang sakit, imunnya kurang stabil. Kalau ada apa-apa aku takut terlambat datangi kamu.”

“Tapi aku pengen datang, pa. Sekali ini aja, aku udah siapin badan supaya hari ini fit dan ini aku bawa inhaler 2 buat jaga-jaga kalau satunya habis. I'll be fine and you have to trust me.”

Ini pilihan sulit bagi Henry. Dia yakin jika melarang pasti akan menimbulkan perang dingin, tetapi mengiyakan pun dirinya juga belum yakin sepenuhnya. Pilihannya adalah meminta bantuan pada Nicholas yang juga memperhatikan mereka berdua. Henry melayangkan tatapan bingung, seolah bertanya tanpa vokal apa yang harus dia lakukan. Ketika anggukan menjadi jawabannya, maka Henry pasrah.

“Ya sudah kamu boleh pergi. Tapi inget handphone kamu harus nyala terus. Aku telpon, aku chat harus dibales.”

“Thanks.”


`hjkscripts.