do you trust me?
Alex Point of View.
Bukan kali pertama sebenernya gue menjelajahi daerah kecil ini. Lingkup kecil hanya dihuni beberapa rumah itupun jarak antar rumah lumayan. Rumah-rumah di sini dibangun sederhana, menyisakan banyak lahan untuk ditanami pokok atau biji-bijian membuat daerahnya nampak asri dan enak dipandang.
Gue memarkirkan mobil di samping rumah. Turun darinya dan disambut oleh bau rumput dan tanah yang khas. Langit berwarna nila, lampu-lampu rumah satu per satu bergantian menyala. Sehingga, lingkup kecil ini berubah menjadi daerah dengan syarat estetika.
Langkah demi langkah sepatu beradu dengan tanah. Menelusuri jalan setapak yang lurus dengan pintu utama. Disambut pula oleh lampu taman yang baru dinyalakan oleh empunya dari dalam. Selanjutnya pintu dibuka, gue gak perlu susah payah mengetuk sebab penghuni rumah sepertinya sudah menyadari kehadiran gue di tengah mereka.
“Hei.” Henry menyapa dari ambang pintu. Lelaki itu nampak hangat dengan balutan sweater rajut yang sangat pas dengan bentuk tubuhnya.
Gue mendekat, lumayan tersipu akan bayangan yang tiba-tiba masuk dalam pikiran. Ini seperti gue disambut oleh suami setelah pulang bekerja. Ini seperti kehidupan yang sulit gue bayangkan dalam enam belas tahun belakangan. Gue akhirnya bisa merasakan, meskipun skenarionya berbeda dari apa yang diharapkan.
Henry membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang bagi tubuh besar gue lewat. Pintunya kecil, sederhana, muat untuk satu orang saja itupun tingginya terbatas hingga gue harus menunduk ketika melewati.
Rumah sederhana ini terlihat nyaman dari luar dan terlihat lebih nyaman di dalam. Jika diperhatikan interiornya lebih seksama sangat menggambarkan Henry sebagai pemilik. Lampunya berwarna kuning temaram sehingga nampak hangat, sebagian besar furniture di dalamnya terbuat dari kayu atau bambu. Meskipun nampak kecil ternyata ada dua lantai. Dari ruangan ke ruangan jaraknya tidak sampai sepuluh langkah.
“Kamar anak-anak di atas semua, terus kamar aku di bawah. Itu ruang keluarga jadi satu sama ruang tamu. Di belakang ada dapur kecil terus pintu belakang menuju kebun bunga.” Begitu Henry menjelaskan sedikit tentang rumah ini.
Rumah ini bukan sembarang rumah melainkan tanda kebebasan Henry yang terlepas dari belenggu bayangan kerajaan. Henry membangunnya dengan keringatnya sendiri bersama harapan dan cinta.
“Coffee or tea?” Henry bertanya ketika gue masih asyik meneliti detail dari ruangan kecil ini.
“Coffee then.” Balas gue.
Henry mengangguk lalu meminta gue melepaskan jaket yang gue pakai. Anggep aja rumah sendiri, begitu katanya dan meminta gue langsung ke atas menuju kamar dengan tag pintu bertuliskan Viscount.
Sedetik gue ragu, ya emang boleh langsung gue yang tiba-tiba dateng tanpa basa-basi juga tanpa Henry. Mengingat gue dan Viscount belum punya cukup koneksi baik daripada gue dan Nicholas. Pun Henry tetap bersikeras kalau gue yang harus menemui sedangkan Henry akan menyusul nanti.
“Aku berharap kamu datang kesini bukan sebagai guru atau pengacaranya. Aku harap kamu datang sebagai dad-nya. Kamu dad-nya, Alex. Kenapa harus ragu?”
Bener, kenapa gue harus ragu kalau yang akan gue temui adalah darah daging gue sendiri. Harusnya kesempatan ini gue manfaatkan dengan baik demi secercah nilai positif yang gue harap dari bagaimana Viscount akan melihat gue melalui sudut pandangnya.
“You can do it, dad!”
Satu kalimat semangat lucu sedikit mengurangi kegugupan yang tengah melanda diri gue. Lantas Henry menghilang dari pandangan meninggalkan gue seorang diri di ujung tangga. Gue naiki satu persatu diiringi bunyi deritan khas dari tangga yang terbuat dari kayu meranti. Sayup-sayup suara kekehan dari dua remaja yang berada dalam satu ruangan menyambut kedatangan gue di lantai atas.
Tok Tok
Gue tanpa ragu lagi mengetuk daun pintu menghentikan nyanyian di tengah lagu. Dibuka segera menampilkan dua remaja dengan rambut berantakan dan sisa tawa. Lucu dipandang gue mendapatkan dua reaksi yang berbeda. Satu terkejut senang, dua terkejut penuh tanya.
“Sir Alex!!!” Seruan Nicholas menyambut hadirnya gue. Anak ini selalu menyapa gue dengar nada yang sama.
“HEI KID!!!” Gue menyapanya tak kalah heboh. Udah kayak temen yang lama gak ketemu. Bonding gue dengan Nicholas berjalan dengan baik dari pertama dan sepertinya akan semakin baik sampai nanti saatnya.
“How was your weekend?”
“Papa hari ini tidak buka toko jadi kita seharian di rumah. Yours?”
“Fine.”
Lalu gue dan Nicholas saling melempar basa-basi sebentar. Setelahnya, gue menjelaskan maksud kedatangan gue sore menjelang malam ke rumahnya. Nicholas mengangguk paham, memberikan space yang gue butuhkan untuk berbicara empat mata dengan Viscount seorang.
Viscount kini seperti dilema atas kehadiran gue di kamarnya. Ada ragu, dan juga rasa takut berasal dari pancaran matanya. Yang bikin gue geleng-geleng kepala, dikeadaan dia yang tersudut masih ada lirikan sangsi dan gengsi atas bantuan yang gue tawarkan tanpa syarat.
“Kenapa kamu tidak mau percaya sama saya?”
Viscount bungkam, entah apa yang ada dalam benaknya sehingga membuatkan dirinya sebuah perisai yang akan melindungi dirinya dari khalayak luar. Apa yang gue perbuat sampai anak ini begitu keras kepala. Padahal gue cuma butuh satu yaitu, cerita selengkapnya.
“Vis dengarkan saya. Kamu itu dilaporkan ke pengadilan sekarang, dan diam akan membuat kamu lebih cepat dibawa ke persidangan. Saya tahu kamu dan saya punya hubungan yang buruk. Saya tahu kamu mungkin punya dendam kepada saya atas apa yang saya pernah lakukan. Jadi tolong jika kamu tidak percaya dengan saya setidaknya percaya dengan papa kamu yang sudah melakukan terbaik untuk kamu dan masa depan kamu.”
Setelah keterdiaman yang cukup lama diantara kita. Setelah keterdiaman yang lebih lama lagi dari dirinya. Viscount beranjak dari hadapan gue, mengambil gawainya dan berselancar sebentar di dalam sana. Dia menyerahkan gawainya tanpa suara, menunjukkan kalimat pesan yang sebagian isinya berisi tekanan dan ancaman. Salah satunya adalah omong kosong yang mengatakan gue ada di pihak mereka.
Then it's enough for me. Memulai permainan dengan keluarga gue yang berarti gue akan maju sebagai pemain utamanya.
“Aku takut papa dalam bahaya kalau aku buka mulut sedikit.”
Oh, you won't kid. We are all going to be okay.
Terakhir, gue gak bisa menyembunyikan rasa bangga atas usaha anak gue satu ini untuk melindungi keluarganya meskipun hampir menukar masa depannya dengan sebuah pelukan. Terlebih lagi atas keberanian dia yang akhirnya mau membuka suara demi keadilannya sendiri.
`hjkscripts.