chapter twenty one.


Kediaman Keluarga Kim.

Deru mesin motor berhenti ketika sampai di depan rumah megah. Pemiliknya celingukan, mencari posisi enak guna memarkir motor matic sederhana pemberian sang orang tua. Jalan depan rumah penuh mobil, ada 3 lebih tepatnya. Tak seperti biasa yang selalu lenggang ketika si pemuda mampir kesana.

Watanabe Haruto, si ganteng yang datang sesuai janji dengan si manis pemilik rumah. Berpakaian rapih khas pergi kondangan formal, rambutnya Ia tata dengan pomade lengkap poninya diangkat hingga dahi yang jarang terlihat, tak lupa menambahkan parfum milik sang ayah. Pas, siap menaklukan calon mertua.

Langkahnya pelan-pelan, meskipun beberapa kali mampir menurunkan sang pujaan hati namun percayalah hari ini baru pertama akan masuk hingga lebih dari sekedar pelataran. Deg degan? Pasti, Haruto tak pernah tau akan apa yang terjadi setelah ini.

“Cari siapa, mas?” Sapa leleaki 30 tahunan, menginterupsi kegiatan celingak-celinguk. Haruto ini bingung, rumah sebesar ini bagaimana kata permisinya.

Si pemuda tersenyum canggung, “Sa-saya temennya Junkyu...”

Paruh baya berseragam sekuriti dihadapannya mengamati sejenak. Bibirnya mendekat pada mikrofon yang memang terpasang pada telinganya, berbicara kecil pada seseorang disebrang.

“Haruto!” Belum selesai mendapat konfirmasi, pemilik rumah alias si manis muncul terlebih dahulu. Menyapa Haruto beserta lengkungan bibir cantiknya. Junkyu itu memang semanis madu, namun hari ini lebih manis daripada biasanya.

Si manis berlari mendekati pagar, malah jadi yang membukakan pagar.

“Yuk masuk, udah ditunggu sama papa mama!” Ajaknya.

Mendengar kata papa dan mama, darahnya berdesir lebih cepat. Perasaan aneh menyelimuti dirinya. Rasa percaya diri yang telah disiapkan setinggi awan seakan jatuh menyentuh tanah. Tolong, jadikan hari ini lancar.


Dentingan alat makan beradu nafas halus menjadi satu-satunya suara dalam ruangan. Tak ada canda tawa, eluhan, atau hanya sekedar basa basi seperti di rumahnya. Jelas, setiap keluarga pasti berbeda dalam menanggapi suatu kebiasaan. Sebagian menganggap meja makan adalah tempat untuk berbagi masakan, dilain tempat meja makan adalah arena untuk membangun percakapan.

Kalau boleh memilih, Haruto inginnya pulang. Rasanya tak sama sekali nyaman meskipun kursi yang sedang diduduki sepuluh kali lebih empuk daripada kasur di kamarnya. Auranya dingin, mengintimidasi meskipun belum ada satu kata yang keluar. Baru masuk, belum sempat mengucapkan halo om, tante saya Watanabe Haruto. sudah dipersilahkan duduk dan makanan dihidangkan. Lebih parahnya lagi, ternyata undangan makan hari ini bukan hanya ada orang tua Junkyu melainkan Yoshi pun datang.

Dua puluh menit berlalu, piring-piring kotor telah diangkat dari meja makan, digantikan dengan banyak potongan buah segar, kue, juga es krim untuk cuci mulutnya.

“Ekhem...” Semua kepala yang menunduk reflek terangkat. Seluruh mata fokus satu tujuan pada kepala rumah tangga diujung meja.

Haruto mendadak gemetar, dalam pikirannya tersemat kata-kata penenang entah itu berhasil atau tidak, yang pasti dirinya benci terjebak disini.

“Jadi nama kamu Watanabe Haruto?” Kata sang kepala keluarga, menjadikan itu sebagai kalimat pembuka disesi obrolan kali ini.

Haruto meletakkan sendoknya, segera berdiri lalu membungkuk hormat setara 90°. “Benar, Tuan saya Watanabe Haruto.” Lalu pemuda tinggi itu kembali duduk.

“Satu sekolah dengan anak saya?” Tanyanya lagi. Menurut Haruto lebih tepat seperti pertanyaan introgasi karena nadanya tak tersampir kelembutan. Lebih ke nada monoton semacam melakukan interview.

“Benar, Tuan. Saya salah satu murid beasiswa di sekolah yang Tuan pimpin.”

Kepala keluarga Kim berhenti sejenak, menyesap teh herbal yang telah tersedia di meja. Sembari menunggu pertanyaan selanjutnya, obsidian Haruto berpendar kesana-kemari. Junkyu yang terkenal ceria jadi seperti patung, Yoshi nampak fokus mendengarkan, dan sedikit melegakan saat matanya bertemu dengan Mama Kim yang tengah tersenyum. Cantik, sekarang Haruto tau darimana paras Junkyu berasal.

“Saya dengar kamu banyak bergaul dengan anak-anak gedung utama?”

Haruto terkesiap, segera fokus kembali pada alur percakapan yang tengah berjalan. Ia mengangguk setuju, satu satunya anak beasiswa yang punya banyak kenalan dengan anak gedung baru ya hanya dirinya.

Tuan Kim tersenyum miring, tepatnya senyum merendahkan. Dalam pandangnya Haruto hanya sosok pemuda biasa, nothing special both inside and outside. Masih tak percaya, bagaimana auranya memang dirasa bisa memikat banyak orang dari berbagai kalangan. Jika Haruto sedikit saja sombong, menunjukkan segala kegigihannya mungkin Tuan Kim bisa digoyahkan.

“Punya apa kamu sampai bisa mudah diterima dalam lingkup anak-anak gedung utama.”

“Jujur, saya belum punya apa-apa saat ini.” Jawabnya. Tuan Kim terbahak pun Yoshi tersenyum miring.

“Lihat Yosh teman kamu lucu sekali.” Dalam suara tawa menggelegar, hawa ruang makan semakin ditekan. Haruto tau sekarang, kedatangannya bukan hanya untuk makan, tapi menjadi ajang penilaian.

Seberapa pantas Haruto bagi keluarga ini.

Jika sesuai standar akan dieluh-eluhkan. Jika tidak, dipermalukan sebelum dipersilahkan angkat kaki.

Disinilah Haruto sekarang, menjadi kandidat pada daftar pemuda yang harus dicoret namanya.

“Yoshi ini anaknya pak menteriㅡ” Disesap lagi teh herbal yang tinggal sedikit. Setelahnya mengusap bibirnya dengan sapu tangan. Sangat hati-hati.

“ㅡkendati anaknya pak menteri tidak membuat dia malas-malasan, foya-foya. Gimana Yosh perusahaan kamu di Amerika?”

Yoshi menegakkan bahunya ketika namanya jadi ikut terseret, “Baik, om.. sedikit demi sedikit sudah berkembang.”

Lagi, fakta baru dari Yoshi yang memukul telak rasa percaya diri Haruto. Yoshi itu bukan hanya kaya, berkelas, intelektual, namun juga mapan. Lihat dandannya, sama berpakaian kemeja, tapi siapapun tau bahwa harganya berbeda jauh. Yoshi itu perfeksionis, nggak salah kemejanya saja luput dari kerutan, parfumnya wangi segar tak seperti miliknya sudah bercampur keringat dengan debu jalan.

Apakah Haruto akan tertekan? ya tingkat percaya dirinya memang jatuh pun bersama harga dirinya. Ingat, Haruto adalah Haruto pemuda penuh kegigihan. Dimulut bilangnya mundur, lain dihati inginnya mendapatkan segalanya termasuk Junkyu.

“Baiklah jika kamu belum punya apa-apa, saya masih maklum. Lantas kuliah setelah ini bagaimana? Kuliah dimana? Jangan bilang tidak melanjutkan kuliahㅡ”

“Papa udahㅡ” Junkyu baru angkat suara ketika perkataan papanya mulai melewati garis batas. Junkyu tau betul sifat papanya. Daripada dilanjut menimbulkan sakit hati lebih baik berhenti.

Namun, sebelum itu terjadi Junkyu malah dihadapkan dengan telapak tangan papanya. Dipaksa diam, dilarang melanjutkan lebih.

“ㅡJadi Haruto saya ini menjunjung tinggi pendidikan. Saya percaya harta bisa didapat dari pendidikan setinggi-tingginya. Ya itu tergantung, kalau institusinya biasa sajaㅡ”

“Tuan Kim yang terhormat, kedatangan saya kesini pun ingin memberi kabar jika saya sudah diterima pada salah satu universitas ternama di Belanda. Saya sadar jika keluarga saya sederhana, tapi orang tua saya juga ingin yang terbaik. Beasiswa yang saya dapat hasil dukungan dari orang tua.” Jelasnya.

Seketika ruangan jauh lebih sunyi. Seluruh pandangan tepat menatap pada Haruto, kecuali Yoshi yang memang sudah tau informasi ini. Sisanya terkejut, apalagi Junkyu.

“Har... ini kamu serius?” Ujar Junkyu memastikan. Entah mengapa tubuhnya tak memproduksi perasaan bangga, banyak rasa tak suka akan informasi mengejutkan dari pemuda disebelahnya.

Junkyu mungkin bukan siapa- siapa bagi Haruto. Tapi, Junkyu yakin setidaknya Haruto akan bercerita tentang suatu keputusan besar yang akan pria itu ambil.

“Ini temen-temen kamu tau?” Lanjutnya lagi dengan nada menuntut. Sedangkan Haruto tak sama sekali mengelak.

Bukan, bukan Haruto ingin menyembunyikan. Hanya saja sedang mencari waktu yang pas.

“Kamu nggak ngasih tau aku?” Lagi, kali ini matanya menatap nanar; tersirat ungkapan kekecewaan.

“Aku kesini niatnya juga mau kasih tau, Kyu. Maaf.”

Junkyu menggeleng, Ia tau pasti proses mengejar beasiswa. Rumit, penuh lika-liku, penuh kalimat mengeluh. Disini Junkyu merasa dirinya hanya orang bodoh, hanya sosok asing yang tak berhak apapun dalam kehidupan Haruto. Lantas apalah arti tiap kebersamaan?.

“Haruto, Belanda itu jauh. Kamu tuh mikir gak sih?!” Junkyu beranjak, menunjuk Haruto dengan teriakan kecewa. Ingin mengungkap segalanya namun hanya sampai pada ujung lidah.

Junkyu kira, menunggu sebentar lagi hubungan mereka bisa melanjut pada satu tingkat. Junkyu percaya Haruto bisa melangkahi keras kepalanya sang papa. Junkyu salah, dirinya terlalu geer, Haruto datang untuk pamit pergi. Menjelaskan secara detail bahwa kedekatan mereka bukan apa-apa, Haruto akan meninggalkan Junkyu jadi keluarga Kim tak perlu khawatir mengusir Haruto pergi.

“Kyu aku bisa jelasin, maksud aku ituㅡ”

“Aku kecewa sama kamu, selamat ya atas pencapaian kamu.” Junkyu pergi diikuti sang mama yang bingung ada apa sebenarnya.

Setelah itu, kepala keluarga Kim juga ikut beranjak. Entah kemana, yang pasti meninggalkan Haruto dan Yoshi berdua.

Tak lama kemudian, Yoshi ikut bangkit. Langkahnya mendekat sejenak kearah Haruto, memberikan tepukan penghantar semangat dibahu pemuda yang dulunya dijadikan pesuruh.

“Gue nggak tau niat dalam hati lu gimana. Tapi, Junkyu berharap banyak ke lu.”

Haruto pun ditinggal sendiri, jatuh dalam lubang penyesalan.


`teuhaieyo.