chapter seventeen.


Pemuda Watanabe itu tengah terkekeh geli. Kedua mata elang bergerak sinkron dengan ibu jarinya yang tengah menari di atas keyboar ponsel pintar. Dandanannya telah rapih, khas anak muda yang akan keluar untuk sekedar bermain. Tanpa Ia sadari kegiatannya sedang menjadi perhatian kedua paruh baya yang juga duduk di depannya.

“Mas, kamu beneran nggak mau makan dulu?” Tanya yang paling cantik sembari mengambilkan nasi untuk suaminya.

“Enggak, Mah nanti mas makan disana aja. Maaf yah.” Balas sang anak. Haruto menatap ibundanya dengan tatapan penuh rasa bersalah.

Jennie; wanita sederhana dengan segudang kepintaran hanya tersenyum maklum. “Ngapain minta maaf sih, kan Mama cuma mastiin soalnya ini cuma masak dikit, takut mas mau juga.”

“Oh- enggak kok. Mama sama Ayah aja makan yang banyak.” Haruto lanjut menunduk menatap layar ponselnya.

Pandangan kedua orangtuanya tak sengaja bertemu. Namun, mereka seakan tau apa yang sedang ada difikiran masing-masing. Han; Ayah Haruto menggeser kursi tempatnya duduk kebelakang, lalu beranjak menuju kamar.

Tak berselang lama Ayah kembali duduk. Alih-alih menyentuh makanan, malah membelai lembut lengan anaknya.

“Mas lihat, Ayah sama Mama punya apa.”

Haruto mengintip sebentar. Dilihat Ayah dan Mamanya tengah menatap dengan pandangan serius. Haruto pun seolah mengerti, meletakkan ponselnya dan memberi seluruh atensi pada kedua orang yang paling Ia sayangi.

“Habis ini mas udah mau lulus ya?” Tanya sang Mama. Perjalanan masa SMA-nya masih panjang, tetapi jika dibilang sebentar lagi juga tidak salah. Tinggal setengah semester.

“Kenapa, Mah? Yah?” Haruto bingung, jam hampir menunjukkan pukul setengah 7 malam yang artinya Ia mau berangkat main, malah dihadang diskusi serius dengan orang tuanya.

Sang Ayah menyerahkan sebuah dokumen, isinya formulir pendaftaran beasiswa kuliah jurusan bisnis. “Katanya mas mau kuliah jurusan bisnis.”

Haruto tertegun sejenak, Belanda? Jauh banget.

“Ini kalau mas keterima sekolahnya di Belanda?” Jennie maupun Han mengangguk.

Haruto jujur belum berpikir untuk sekolah sejauh itu. Maunya hanya mencari beasiswa disekitaran, kuliah seperti biasa kalau bisa sambil menjadi part timer. “Mas nggak tau apa mas siap.”

Lagi-lagi Mamanya tersenyum maklum, “Sambil dipikirkan ya, Mas. Kalau kamu memang nggak mau Mama sama Ayah nggak maksa kok.”

Ayahnya pun mengangguk setuju, mereka berdua memang ingin memberikan yang terbaik. Namun, jika yang terbaik adalah anaknya tetap bersekolah disini ya dia bisa apa selain mendukung. Toh, sekolah bagus hingga keluar negeri jika tidak dilakukan dengan ikhlas sama saja membuang waktu.

“Ayah sama Mama ini maunya ya yang terbaik mas buat kamu. Tapi, Ayah yakin apapun yang menjadi keputusan kamu nanti pasti itu yang terbaik untuk kita.”


`teuhaieyo.