chapter nineteen.
Tepat pukul 19.00 kedua pemuda itu keluar dari gedung bioskop. Junkyu pun Haruto meregangkan otot-ototnya. Film horor dengan sentuhan cerita romantisㅡ well, interesting.
Haruto menengok kesamping, mendapati Junkyu yang juga tengah menatapnya penuh harap.
“Kenapa?” Pemuda jangkung dengan rupa manis itu meringis. Sorot matanya diarahkan pada daerah perut hingga Haruto menggeleng dibuatnya.
“Laper...” Lirihnya. Malu, pasalnya saat film tengah memutar scene sunyi perutnya dengan kurang ajar berbunyi keras.
Yang lebih tinggi mengambil tangan Junkyu, mengeratkan jemarinya erat. Sampai saat ini pun Haruto masih tak percaya, tangan cantik milik Junkyu sangat pas dalam genggamnya.
“Mau makan dimana?” Sembari berjalan bersisihan, mereka juga mengamati resto ala mall dengan segala keramaian di dalamnya.
Junkyu menggeleng, bibirnya maju dua senti. Makanan dalam mall itu membosankan.
“Pengen angkringan deh.” Gumamnya. Pelan, namun masih tertangkap gendang telinga pemuda disampingnya.
“Hah?! Serius?”
Ketika obsidian elang itu menangkap anggukan yakin dari lawan bicaranya, maka mereka putuskan makan malam hari ini lesehan di angkringan.
Haruto pikir Junkyu pernah makan di angkringan. Nyatanya, pengalaman si manis akan warung sederhana dengan tema khas lesehannya itu adalah 0. Junkyu tau nama angkringan dari mulut ke mulut, namun belum tau bagaimana rupa sesungguhnya. Berbeda dengan Haruto, angkringan itu teman nostalgianya.
“Ini apa?” Tanya Junkyu untuk yang kesepuluh kali pada makanan tusuk berwarna dasar coklat.
“Itu namanya sate telur puyuh, enak.” Si manis mengangguk, mengambil satu tusuk lalu dicicip satu. Reaksinya selalu sama, dahinya mengernyit saat lidahnya diperkenalkan oleh rasa baru. Jika sudah begitu, piring nasi goreng Haruto jadi sasarannya.
“Nggak enak.”
Makanan yang malang, padahal sate telur itu paling dicari jika sedang nongkrong di angkringan.
“Kalo ini apa?”
Haruto menghela napas kasar, piring nasi gorengnya penuh hingga nasinya tak nampak. Lebih banyak lauknya ketimbang nasi. Haruto bukannya melarang Junkyu untuk mencoba semua, harga makanan angkringan sebanyak apapun Haruto sangat sanggup membayar. Hanya saja membuang makanan, hal paling tak terpuji menurutnya.
“Itu ceker pedes. Udah gausah dicobain kalo nggak mau. Tunggu mie goreng kamu jadi aja.” Baik, kali ini Junkyu memilih diam. Meskipun instingnya masih berkelana kesana kemari ingin mencicip seluruh makanan kecil di depannya
20 menit kemudian
Hari semakin malam, cuaca semakin dingin. Inilah nikmatnya makan diangkringan, angin berhembus lirih, nuansa remang-remang ditambah nyanyian jangkrik. Memang sederhana, namun nyaman berlama-lama.
Haruto meletakkan piring kosongnya. Perutnya begah akibat memaksakan seluruh sate-satean milik Junkyu, mengambil gelas berisi jeruk nipis hangat, lalu diteguk perlahan sembari manik tampannya mengintip si manis.
Refleks, jemari Haruto terulur, mengusap pipi semirip mandu perlahan. “Pelan-pelan.”
“Hahh..kenyang.” Ungkapnya penuh ceria.
Pada waktu ini entah mengapa suasana jatuh menuju canggung, ditambah pengunjung angkringan semakin berkurang tak seperti biasanya semakin malam semakin ramai.
“Nggak kerasa udah tinggal bentar sekolahnya, besok-besok udah pada sibuk ngisi nilai kelulusan.” Bener, biasanya setelah ujian tengah semester siswa/i masih bisa berleha-leha sejenak. Tapi tidak bagi murid kelas akhir. Jadwal ujian praktik hingga ujian kelulusan sudah di depan mata.
Haruto turut mengangguk setuju, “Iya...”
“Kamu lanjut kuliah?” Lanjut Junkyu, kembali dihadiahi anggukan kecil. Haruto masih ragu jujur saja.
“Oh ya?”
“Masih belum nentuin sih, niatnya nyari beasiswa disekitar sini tapi kan belum tau lagi.” Haruto kembali menyeruput sedikit minuman yang telah mendingin. Kerongkongannya mendadak kering, niat awal hingga duduk disini adalah untuk meminta pendapat tentang rencana mengejar beasiswa ke luar negri
“Kalau akuㅡ” Belum selesai melanjutkan, keheningan yang terjadi dibuyarkan oleh nada dering ponsel Junkyu.
Oke nggak sekarang...
Haruto membiarkan Junkyu bercakap sejenak.
“Siapa?” Tanya Haruto setelah Junkyu kembali memasukkan ponselnya pada saku celananya.
“Oh, Yoshi dia ngasih tau kalo papa sama mama pulang. Tadi kamu mau ngomong apa?”
Pemuda dengan visual rupawan itu tersenyum, “Nggak kok, udah semua kan? Ayo aku anter pulang.”
Junkyu merapatkan dadanya pada punggung tegap. Lengannya memeluk erat pinggang sedikit berisi sosok yang tengah fokus jalan raya.
Lagi-lagi begini, posisi paling favorit saat sedang bersama Watanabe Haruto. Junkyu suka tatkala aroma maskulin Haruto sampai pada hidungnya samar. Tanpa patah katapun Junkyu selalu nyaman dibuatnya.
“Kyu!” Panggil Haruto tiba-tiba, sedikit menggoyangkan bahu kiri tempat dagu si manis selalu bertumpu.
“Iya, Har kenapa?” Balasnya juga dengan nada tinggi karena harus beradu dengan angin malam.
“Yoshi itu memangnya siapa kamu?”
Hah? Tiba-tiba?
Gak tau kenapa tubuh Junkyu mendadak merinding, darahnya berdesir hingga jantungnya berdebar.
“Ini Haruto lagi mastiin gue free?” inner Junkyu.
“Dia itu temen dari kecil, yang ngenalin ya papa. He's quite kind loh aku hampir tiap hari ketemu dia, main sama dia, dan aku bisa ngerti sih kenapa dia jadi overprotektif gitu. Biasalah anak kecil cerobohㅡ”
Mau tak mau bibir Haruto ikut menyunggingkan senyum tipis, “Sampai sekarang pun kamu ceroboh.”
“ㅡwaktu itu lagi main terus pas lari keserempet. Padahal nggak ada yang nyalahin, tapi emang orangnya suka nyalahin diri sendiri. Yoshi tuh kalo dikasih tugas harus perfect, keluarganya perfeksionis jadi ya gitu deh. He promised in the name of my father to always protect me tapi kayaknya jadi goes wrong deh.”
Mendengar semua makin membuat Haruto nggak nyaman. Yah, salahnya sendiri harus membawa topik Yoshi ditengah adegan peluk mesra diatas motor, tapi rasa penasaran mengenai fakta hubungan Junkyu dan Yoshi lebih besar. For him, everything about Yoshi is just perfection and once again Haruto comes down to the bottom of his confidence.
Haruto termenung dibuatnya, menatap jalan senggang dengan tatapan kosong, enggan bertanya lebih. Mendengarkan tiap penuturan Junkyu tentang Yoshi mengusik hatinya. Junkyu mengenal Yoshi dengan baik pun sebaliknya. Jika begini adanya, Haruto terlihat bukan siapa-siapa. Hanya orang asing sederhana dengan tanpa tau diri masuk ditengah keduanya.
“HAR! HARUTO?!” Dipukul keras pundak Haruto hingga kesadarannya kembali.
“Eh-iya.. maaf.”
“Emang kenapa sih kok jadi bahas Yoshi?”
Junkyu dapat menangkap gerakan gelengan dari lawan bicaranya, “gapapa cuma mau memastikan seberapa kuat lawan aku.”
Junkyu dibuat semakin bingung, maksudnya?
“Terus kalo kamu kalah kuat? Kalah dong!”
“Bukan kalah tapi ngalah sejenak, mundur sejenak buat memantaskan diri terus lanjut maju lagi.”
`teuhaieyo.