chapter eighteen.
Bagi mereka berlima Redlight itu surga. Berbeda seperti bar lainnya dengan berbagai riuh ricuhnya muda mudi bergerak sensual, Redlight lebih menawarkan tempat bercengkrama. Ketimbang musik memekakkan telinga, Hyunsuk; pemilik bar skala kecil ini lebih memilih memutar musik Jazz yang menenangkan.
Terkadang guna melampiaskan rasa sesak di dada akan masalah dunia. Tempat tenang dengan segelas alkohol lebih dibutuhkan daripada lokasi ramai.
“Cheers!” Ucap kelima pemuda bersamaan. Dentingan gelas kaca terdengar saat ujung-ujungnya saling bertemu. Warna-warni cairan alkohol menjadi saksi betapa bebasnya kehidupan mereka saat ini.
“Anjir lega banget dah selesai ujian.” Pemuda dengan headband dikepalanya menyandarkan punggung sempitnya pada sofa sesekali menyesap cairan bening dalam gelasnya. Meskipun after taste yang dirasakan adalah tenggorokan panas terbakar, namun rasanya lega bukan main.
“Sekarang lega, tapi kalo dipikir-pikir lagi malah semakin deket sama ujian-ujian menuju kelulusan.” Sahut pemilik nama Jeongwoo. Sorot tajamnya bergerak kesana-kemari mendapati gerombolan wanita tak jauh dari tempatnya duduk.
Keempatnya mengangguk setuju. Ternyata begitu cepat waktu berjalan hingga tak terasa telah sampai dipenghujung masa SMA.
“Pada lanjut kuliah kan?” Kali ini Hyunsuk yang bertanya. Mereka boleh dikata bandel, hobi menghamburkan uang keluarga tanpa takut besok kemalangan.
Jauh... jauh dari pikiran orang mereka concern akan pendidikan. Mereka hanya pemuda pemilik mimpi yang harus dikejar. Biarlah orang berkata halah, abis lulus ya kerja di perusahaan papanya.
“Iyalah, kaga kuliah bokap gua mencak-mencak anjing.” Sahut Doyoung sembari membenahi headband-nya.
“Bener, gue kaga kuliah gimana mau ngajak anak orang nikah. Lu tau sendiri bokapnya Asahi gelarnya profesor.” Tutur Jaehyuk; masih terus fokus dengan ponsel pintarnya.
Semua tertawa, kecuali pemilik mata elang yang sedang bergelut dengan batin serta pikirannya. Jari telunjuknya berputar di atas bibir gelas kaca berisi cola. Satu-satunya pemuda yang tak pernah mabuk disini.
“Woy ngelamun mulu!”
“Anjr-”
Haruto bersumpah akan membalas siapapun pelaku pemukulan terhadap dirinya saat mood-nya kembali baik.
Ditatap keempat sohibnya yang tengah cekikikan dengan tatapan sebal. Terlebih Yoon Jaehyuk yang berhasil menggeplak kepalanya tadi.
“Apaan anjeng, mukul pala bikin bego!” Sungutnya marah.
“Ya abisnya kita lagi ngobrol situ diem ae. Kenapa nih ada masalah apalagi? Sini cerita sama abang Jae!”
Haruto mendengus menanggapi. Abang Jae? Sial ngeri banget.
“Gimana, To? Lu kuliah kan? Jangan bilang lagi mikir nyari sugar mommy buat bayar biaya kuliah?”
“Sialan lu, otak gue cerdas gini yakali kaga dipake daftar beasiswa.” Jawabnya sombong, namun memang bukan rahasia lagi bahwa Haruto begitu pintar.
“Wissh, sombong. Kuliah dimane lu? Atre lagi?”
Pemuda ganteng itu diam sejenak. Maunya sih memang mencari beasiswa disana, masih dekat dengan orang tua, teman-temannya. Entah mengapa tawaran ke Belanda mulai mengusik hati kecilnya.
Bayangkan gelar sarjana bisnis universitas terbaik di Belanda tersemat dibelakang namanya. Orang tuanya dibuat bangga luar biasa, taraf hidupnya mungkin bisa diangkat karena diterima pada perusahaan ternama, dan yah... jodoh mana bisa menolaknya.
“Ada pendaftaran beasiswa. Tapi sekolahnya kudu ke luar negri... Belanda, universitasnya bagus. Tapi gue masih ragu.”
Mendengar penuturan Haruto suasana mendadak canggung. Baru beberapa detik Jeongwoo bersuara.
“Bagus dong! Belanda cuy gila kaga tuh kalo lord Haruto kita keterima?”
Haruto tersenyum kecut. Tergambar jelas hidupnya sedang diambang dilema.
“Emang apa yang bikin lo ragu?”
“Banyak, orang tua gue bakal sendirian disini, kalian, sama. .. Junkyu.”
Doyoung menepuk pundak sobatnya beberapa kali. Mengelusnya perlahan seraya menengangkan.
Begitupun Hyunsuk, tersenyum paham layaknya seorang bapak yang mengerti kegundahan hati anaknya.
“Pertama, orang tua lu pasti bakal bangga banget kalo lu bisa dapetin beasiswanya, toh mereka yang rekomendasiin. Keduanya, kita berempat dukung lu 100% meskipun sedih anjir udah kaga bisa fullteam ngumpul. Ketiga, keknya lu harus ajak ngomong Junkyu perihal rencana masa depan lu. Urusan diterima atau nggak, Junkyu juga perlu tau.”
Jaehyuk meletakkan ponselnya, perhatiannya saat ini ikut terpaku pada sahabatnya. “Kalo kata gue sih gas aja ikut. Pikirin cita-cita lu yang katanya mau bahagiain mas bro sama mama. Kalo entar pulang lu sukses jangankan Junkyu. Yang lebih baik dari dia aja dapetinnya gampang.”
Bener, nggak ada satupun yang salah dari penuturan Hyunsuk pun Jaehyuk. Haruto memang menginginkan Junkyu, namun dirinya sadar bahwa setelah Tuhan, orang tuanya lah yang patut dibahagiakan terlebih dahulu.
“Bener, gue emang sayang sama Junkyu tapi gue lebih sayang sama orang tua gue.”
Dari sini Haruto mulai sadar, mungkin jalannya menuju Junkyu tidak semudah itu. Mungkin dewa cinta diantara mereka masih ingin bukti seberapa Haruto pun Junkyu berkorban waktu untuk kebersamaannya dihari esok. Masih mungkin, karena kita tak pernah tau dengan siapa tiap insan akan berjodoh.
`teuhaieyo.